Selasa, 16 Juni 2009

ISLAM DAN PEREMPUAN

ISLAM, PENDIDIKAN DAN PEREMPUAN
Oleh: Ainurrafiq dan Fahmi Arif

Abstract
Sesungguhnya bila kita cermati dalil naqli atau teks-teks yang ada, hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan justru adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra- Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang justru memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan. Dalam konteks keindonesian sangat tepat pernyataan R.A Kartini “Kecerdasan pikiran penduduk Bumiputera tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, (yaitu) perempuan jadi pembawa peradaban.” “Dan betapakan ibu Bumiputera itu sanggup mendidik anak, bila mereka itu tiada berpendidikan?”

Kata Kunci: Islam, Perempuan dan Pendidikan

I. Pendahuluan
Saat ini, akses dan partisipasi perempuan dalam pendidikan masih tersisih dibanding laki-laki. Tahun 2004 saja, di Jawa Tengah, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Semarang (PSW Unnes) dan PSW UNS Surakarta menemukan bahwa angka melek huruf perempuan di sana hanya 84,85 %, sedang laki-laki mencapai 92,63 %.
Namun harus diakui bahwa jumlah perempuan yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pada masa sekarang, tentu lebih banyak daripada masa 70-80 an. Seiring dengan terbukanya kesempatan itu, terbentang pula harapan dan angan-angan yang mungkin diraih. Sebagian perempuan telah bercita-cita bekerja di kantor dan meniti karir, sebagian tidak ingin terikat oleh ruang dan waktu di belakang meja, sebagian ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang berwawasan luas dalam mendidik anak dan berkeluarga, sebagian lagi tidak memaksakan diri harus ini atau itu tetapi lebih tergantung pada situasi yang ada.
Faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut antara lain meningkatnya pendidikan perempuan dan pergeseran budaya sebagai dampak globalisasi. Perubahan tersebut dapat dilihat dengan banyaknya perempuan yang berkecimpung di pasar kerja, pada tahun 2003, tercatat sebanyak 35 persen dari seluruh angkatan kerja adalah perempuan, selebihnya angkatan kerja laki-laki.
Walaupun demikian, dari data dan informasi ketenagakerjaan menunjukkan masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Padahal bekerja merupakan hal yang mendasar dalam memperoleh penghidupan yang layak, disamping kesetaraan gender merupakan salah satu hak azasi manusia yakni laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam antara lain dalam memperoleh penghidupan yang layak. Berdasarkan hasil penelitian ILO, dari sejumlah masyarakat yang hidup di bawah kemiskinan lebih banyak wanita dibandingkan laki-laki.
Maka, sudah saatnya kaum laki-laki, teristimewa perempuan, untuk bangkit memberdayakan diri demi membangun sebuah masa depan bangsa yang jauh lebih baik dari masa kini. Bukankah anak yang berkualitas dibesarkan oleh perempuan berkualitas. Karena itu, sudah waktunya kaum perempuan Indonesia berkualitas. Salah satunya dengan meningkatkan pendidikannya.
Di Indonesia, statistik perempuan menunjukkan ketimpangan yang menyolok. Ini bisa dilihat misalnya Statistik Indonesia untuk pendidikan dan kebudayaan yang dikeluarkan Bappenas 1997 menunjukkan bahwa antara tahun 1980-1990, angka masuk sekolah laki-laki dan perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil siswa perempuannya.
Ala’i Najib, dalam salah atau tulisanya, “Yang Luput; Pendidikan Perempuan”, dengan panjang lebar menjelaskan bahwa jika dirunut, ketimpangan pendidikan perempuan dikarenakan masyarakat masih berpandangan male oriented, pandangan yang mengedepankan pendidikan laki-laki daripada perempuan. Dengan konsep bahwa anak laki-laki kelak menjadi kepala keluarga, maka sebuah keluarga dimana terdapat anak laki-laki dan perempuan dengan ekonomi pas-pasan pasti akan mendahulukan pendidikan tinggi anak laki-lakinya daripada anak perempuan.
Anggaran pemerintah terhadap pendidikan di banyak negara -terutama negara berkembang- memang lebih kecil dibanding anggaran yang lain, hal ini menyebabkan pendidikan bukan saja konsumsi mewah yang tak banyak dijangkau masyarakat umum, namun juga menciptakan masyarakat berkelas; orang awam dan orang berpendidikan. Boleh dikata, hanya yang punya uang yang mampu sekolah, sebab ternyata beasiswa tidak untuk semua orang.
Budaya bahwa perempuan adalah “konco wingking”, sehingga tak perlu dididik juga turut mensubordinatkan perempuan. Fakta-fakta di atas menunjukkan betapa pendidikan -dalam arti yang sebenar-benarnya- bagi perempuan bukan ketertinggalan yang harus dikejar, tapi dilanggengkan. Memang banyak perempuan sekarang yang sudah memegang peranan penting, tapi itu hanya representasi kecil yang belum mencapai keterwakilan penduduk di muka bumi dan harus dicatat tidak semuanya punya sense of gender.
Sulitnya, lingkungan pendidikan keagamaan juga turut berperan membentuk persepsi ini, lihatlah misalnya; seorang perempuan yang masuk fakultas kehutanan, mestilah ia bercita-cita menjadi insinyur kehutanan, tapi apakah ada di pesantren perempuan, santrinya berani bercita-cita menjadi ibu Nyai? yang mengajar di pesantren? Sebaliknya laki-laki, nyarisnya semuanya diproyeksikan jadi: "Kyai". Kalau ini terjadi secara simultan, bagaimana kita mengharapkan, nanti yang mengajar fikih, tafsir atau disiplin ilmu keagamaan lain perempuan? Padahal posisi ini sangat penting, sebab pengajaran keagaamaan yang berperspektif gender bisa digerakkan sebab guru atau bu Nyai yang merupakan tokoh kunci. Selain faktor-faktor di atas, adanya trend bahwa perempuan yang sekolah tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan memilih kembali ke ruang domestik menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan sadar individu.

II. Islam Bicara Pendidikan Perempuan
Sesungguhnya bila kita cermati dalil naqli atau teks-teks yang ada, hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan justru adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra- Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang justru memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ – المجادلة: 11--

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujadalah [58]:11).

Hal ini ditegaskan kembali oleh Nabi saw dengan menyatakan bahwa hanya dengan menuntut ilmulah kebodohan akan sirna. Dan cara melawan kebodohan itu adalah dengan membuka selebar-lebarnya peluang menuntut Ilmu. Beliau juga menyatakan bahwa menuntut ilmu pada konteks ini menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umatnya, tanpa perbedaan jenis kelamin.

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ (رَوَاهُ إِبْنُ مَاجَةْ)
"Menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan." (HR. Ibnu Majah).

Perempuan, selain sebagai "poros" regenerasi manusia selanjutnya, di tangannyalah para generasi baru itu dididik. Bahkan jika kita baca kembali kutipan Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang menyitir syair seorang sastrawan Arab, Hafidh Ibrahim, Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan bangsa yang berketurunan baik. Realitas ini jelas menunjukkan posisi perempuan (Ibu) sebagai "poros" utama dalam pendidikan. Sehingga tidak logis kemudian jika arus pengetahuan untuk perempuan terhambat karena masalah-masalah seperti ketiadaan muhrim, peran domestik yang harus dilakukan, atau lainnya. Justru arus utama pengetahuan itu seharusnya ditujukan kepada para perempuan terlebih dahulu. Karena baik tidaknya pola didikan para Ibu ini akan sangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dimilikinya.
Pada dasarnya, Islam mendukung pendidikan perempuan dalam wilayah agama maupun sosial. Islam tidak mengenal prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama didukung untuk memperoleh pendidikan, bahkan dinyatakan Nabi dari semenjak di ayunan sampai masuk liang lahat. Semua ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan dan yang menganjurkan untuk menuntut Ilmu pengetahuanpun ditujukan secara setara baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Perhatian Nabi saw terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa beliau sendiri biasa mengajar perempuan bersama laki-laki. Beliau juga memerintahkan kepada sekalian umatnya agar tidak hanya mendidik keluarga perempuan mereka saja, namun juga budak-budak perempuan mereka, seperti tercantum dalam hadits "Seorang laki-laki yang mendidik budak perempuannya, memerdekakannya dan kemudian menikahinya, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda".
Sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Hadits yang mendorong kaum perempuan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian mereka, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang terdidik tidak hanya memancarkan kualitas-kualitas moralnya di lingkungan rumah, namun juga harus memiliki sebuah peran aktif di lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan perkembangan politik.
Secara khusus dalam surat Al-Taubah ayat 71-72, Al-Qur’an memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk mendirikan shalat, membayar zakat, beramar ma'ruf dan nahi munkar dalam segala bentuk; sosial, ekonomi, dan politik. Ini berarti laki-laki dan perempuan setara dalam mengemban perintah tersebut dan untuk itu mereka harus sama memiliki akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan. Lalu bagaimana perempuan bisa membenarkan kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang baik atau tidak menyepakatinya, kalau secara intelektual dia tidak dipersiapkan untuk tugas itu?

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِوَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ اُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ اِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ – وَعَدَ اللهُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ اَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ – التوبة: 71-72--

“(71) Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (72) Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Taubah [9]:71-72).

Bila kita kembali berkaca kepada sejarah Islam, sesungguhnya Islam tidak pernah sepakat dalam pembatasan terhadap perempuan. Islam telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para perempuan-perempuan untuk menimba ilmu apa saja. Dan ini terbukti dengan munculnya beberapa nama perempuan-perempuan yang menghiasi tinta sejarah Islam. Sebutlah misalnya Aisyah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, Al-Khansa yang dipuji Nabi karena keindahan puisinya, Zainab dari Bani Awd dan Ummu Al-Hasan binti Qadi Abi Ja'far Al-Tanjali yang terkenal menguasai ilmu kedokteran, dan sering menunaikan tugasnya untuk mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, lalu Nusaibah yang pandai dalam strategi perang, dan mungkin masih ada banyak lagi. Dan jika memang pendidikan adalah fondasi bagi transformasi sosial, maka pembatasan hak pendidikan kepada perempuan tidak relevan. Maka saatnya mengutamakan pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan tidak diskriminatif untuk semua?
Amat banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Para perempuan di zaman Nabi saw menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Qur’an menegaskan bahwa:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لاَ أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَأُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوْذُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ وَقَاتَلُوْا وَقُتِلُوْا َلأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ َوَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللهِ وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ – ال عمران: 195--

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali 'Imran [3]:195).

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi, Aisyah ra, adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
Rasulullah saw tidak membatasi kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi. Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh, seperti yang diungkap M. Qurais Shihab dalam sebuah tulisannya pernah menulis: “Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga, pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.”

III. Proses Pendidikan Islam Masih Bias Gender
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia yang dikutip oleh Nasaruddin Umar dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran perilaku mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya “Sex and Gender: An Introduction” mengungkapkan bahwa gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini menurut Nasaruddin sejalan dengan pendapat kaum feminis.
Elaine Shorwalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia menekankannya sebagai konsep analisis (an analitic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Dan H.T Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Karena itu Nasaruddin Umar mengatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya; suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Fenomena yang sering dijumpai dalam proses pendidikan adalah bersifat patriarkhis. Pendidikan yang merupakan salah satu wahana dalam proses penyebaran nilai-nilai dan gagasan baru, tidak berarti sama sekali ketika isu ketidakadilan gender vis-a-vis apriori masyarakat akan selalu menghasilkan bias makna; bahwa dengan mengulang-mengulang mengkampanyekan isu gender sama halnya dengan mengungkit-ungkit kemapanan takdir Tuhan. Jika demikian kenyataannya, pertentangan jenis kelamin yang menghasilkan ketimpangan gender, untuk kesekian kalinya tetap akan dipahami sebagai sebuah kelaziman yang terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia, mengingat mapannya pandangan konvensional patriarkhis tentang relasi gender.
Di dalam proses pendidikan itu sendiri ternyata selama ini telah dimasuki pewarisan ketimpangan gender, tetapi para praktisi pendidikan tidak pernah memahaminya sebagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani. Tidak sedikit praktisi pendidikan yang menanggapi persoalan ini dengan dingin, hingga akhirnya pendidikan lebih memainkan fungsinya sebagai agen sosialisasi ketimpangan gender, meskipun sebenarnya ia sangat berpeluang dijadikan media untuk memutuskan ketimpangan gender. Lebih tragis lagi banyak praktisi pendidikan tidak menyadari bahwa materi-materi pendidikan yang disosialisasikan berdasarkan teks pendidikan kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar yang “seksis” adalah hasil dari serangkaian pertentangan gender yang bergemuruh dalam masyarakat. Sementara di sisi lain pendidikan menjustifikasinya sebagai sebuah kebenaran etika.
Isu kesetaraan gender dalam proses pendidikan menjadi bahasan yang sangat penting, sebab isu ketidakadilan gender yang selalu berpijak pada persoalan hegemoni kekuasaan jenis kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, ataupun lingkungan, tetapi agama pun juga ikut menjustifikasi hal tersebut. Ini karena isu gender lahir dari bias makna yang ditimbulkan oleh perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, bias makna tersebut mempengaruhi relasi sosial antara dua jenis kelamin, melalui proses kultural dan perilaku sosial yang sangat panjang. Perbedaan biologis yang permanen ini melahirkan sebuah konstruksi perbedaan relasi gender yang bersifat hegemonik, itu dikukuhkan dan diproduksi secara konsisten melalui pengalaman sadar maupun bawah sadar. Pada proses akhir konstruksi pola relasi itu sudah berubah menjadi bentuk hegemoni kekuasaan maskulin terhadap feminin yang melahirkan anomali sosial. Hegemoni jenis kelamin tersebut lebih banyak bekerja membius supra struktur (ide, keyakinan, pandangan) masyarakat. Di sinipun lembaga pendidikan memiliki peluang yang sangat lebar untuk menjadi bagian dari perangkat hegemoni sistem nilai gender.
Permasalahan sebetulnya bukanlah terletak pada “kaum perempuan”, tetapi di dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender (gender inequalities). Oleh karena itu yang menjadi setiap tujuan kegiatan atau program perempuan bukanlah sekedar menjawab “kebutuhan praktis” atau mengubah kondisi kaum perempuan, tapi juga menjawab kebutuhan strategis, dalam arti memperjuangkan perubahan posisi perempuan termasuk menentang hegemoni dan melawan ideologi ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dalam keyakinan kaum laki-laki atau perempuan.
Proses pendidikan selama ini cenderung mengedepankan verbalisme. Eksplorasi yang seharusnya menjadi ciri utama pendidikan menjadi terabaikan, akibatnya anak didik terkungkung dalam budaya bisu, lebih tragis lagi anak didik dipandang berdasarkan identitas jenis kelamin, dalam hal ini perempuan yang menjadi sasaran hegemoni. Jika demikian, sensitivitas gender sama sekali belum ada, maka kita tidak dapat menyalahkan atau menghakimi sebetulnya yang tidak sensitif gender itu apakah berasal dari faktor guru atau memang dari tujuan, metode, materi, lingkungan atau faktor lain yang sudah dikonstruk sedemikian rupa hingga seorang guru memang harus berlaku demikian. Ditambah pula banyak sekali teks-teks agama yang dijadikan sebagai alat legitimasi untuk sebuah penafsiran yang sama sekali bias gender, demikian inilah yang oleh para praktisi pendidikan dijadikan rujukan tanpa melakukan pengkritisan terlebih dahulu.
Fenomena ini bisa terjadi dalam proses pendidikan secara terus menerus ketika belum ada usaha untuk merubahnya. Budaya patriarkhi yang begitu lama mengakar dalam masyarakat merupakan sebuah kendala dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merombaknya secara bertahap. Proses pendidikan harus diteliti dan dikaji ulang, baik dari aspek tujuan, metode, materi atau yang lainya (elemen proses pendidikan) yang selama ini masih amat kentara bias gendernya.

IV. Fenomena Pendidikan dan Ulama Perempuan
Metodologi keilmuan masih sarat dengan bias laki-laki. Tidak heran jika berbagai teori dan konsep keilmuan, terutama dalam ilmu-ilmu sosial, hingga kini masih mendukung masyarakat laki-laki (male dominated society) dan menempatkan perempuan di posisi marginal. Apa yang pernah dikemukakan oleh Pytagoras: “man is the measure of all things” (laki-laki menjadi ukuran segala sesuatu) kenyataannya masih berlangsung hingga saat ini.
Dunia pendidikan agama, baik dalam konotasi institusi maupun konotasi substansi kurikulum dan metode, masih sarat dengan berbagai bias gender. Hal ini menarik untuk dikaji karena institusi pendidikan agama masih merupakan faktor yang sangat kuat dan sangat menentukan di dalam masyarakat. Di samping itu, secara substansial juga mempunyai arti penting karena masyarakat bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Wacana konseptual tentang keadilan gender di dalam dunia pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan wacana gender di dalam kehidupan beragama.
Terlepas dari (sedikit atau) banyaknya ulama perempuan, sulit dibantah ketika kenyataan yang lain mengatakan bahwa perempuan memang hanya menduduki posisi marjinal dalam dunia keilmuan Islam –pesantren khususnya. Realitas ini secara implisit ingin mengatakan bahwa tradisi keulamaan (atau keilmuan) memang didominasi oleh kaum laki-laki; dan agaknya terdapat ketidakseimbangan (unbalancing) antara konsep ideal Islam yang menyatakan bahwa kewajiban menuntut ilmu berlaku untuk laki-laki dan perempuan dan, dengan demikian, sebenarnya –lagi-lagi secara ideal– memberikan peluang yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi ulama, dengan praktik yang berlangsung secara historis. Jadi, unbalancing ini, lebih jauh lagi mengisyaratkan terdapat dalam kesempatan di dunia pendidikan. Dengan kata lain, kaum perempuan tidak memeroleh kesempatan yang memadai dalam pendidikan Islam yang dapat mengantarkan mereka kepada keulamaan.
Padahal, dalam kaitannya dengan kewajiban menuntut ilmu atau hak untuk memeroleh pendidikan, yang dengan itu seseorang nantinya dapat menjadi ulama, sekali lagi, Islam tidak pernah membeda-bedakan sama sekali antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, di dalam Kitab Al-Fatâwa karya Syeikh Muhammad Al-Mutawally Al-Sya’rawi, Rasulullah sendiri meminta sahabat Umar bin Khattab untuk menyuruh Al-‘Adawiyah (perempuan dari Suku ‘Ady) untuk tetap datang mengajar Hafsah meskipun dia telah berpindah ke rumah Rasul. Umar berkata, “Ia sudah ‘alim ya Rasul.” Mendengar perkataan itu, Rasulullah dawuh: “Suruhlah ia datang mengajar, agar Hafsah lebih ahli dan mahir lagi…” Inilah rahasianya mengapa para sahabat pada masa Utsman bin ‘Affan secara ijma’ menyetujui salah satu mushaf tulisan tangan yang asli disimpan di rumah Umm Al-Mukminin Hafsah bint Umar.
Maka, Muslim Ibrahim dalam makalahnya “Perempuan sebagai Ulama dalam Syari’at Islam” mengingatkan: kalaulah dalam hak memperoleh pendidikan dan kewajiban belajar tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, tentu hasil yang dicapainya pun tidak berbeda. Sungguh logis memang kalau lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk memeroleh syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang ulama. Malah, kalau kita coba kaitkan dengan ilmu Manthiq, kalau hukum memelajari ilmu adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan, sementara ilmu adalah tangga bagi lelaki atau perempuan untuk menjadi ulama, maka adanya ulama di kalangan laki-laki dan perempuan adalah merupakan suatu kewajiban yang mesti diwujudkan.

V. Kesimpulan
Dari sedikit paparan di atas dapat diambil pemahaman bahwa hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra- Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. "Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan (Pemberdayaan Historiografi), dalam Ulama Perempuan Indonesia, Jajat Burhanuddin, ed.,Jakarta: Gramedia, 2002.
Brannon, Linda. Gender: Psychological Perspective. Boston: Allyn and Bacon, 1999.
Faqih, Mansour. Analisis Gender dan Trasformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998.
Ibrahim, Muslim “Perempuan sebagai Ulama dalam Syari’at Islam”, Makalah, t.t., t.tp.,.
Lips, Hilary M. Sex and Gender: An Introduction. California: Mayfield Publishing Company, 2001.
Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka pelajar dan Rifka Annisa, 2002.
Muniroh, Alimul. “Sensitivitas Gender dalam Proses Pendidikan Islam”, Makalah, ttp. tth.
Najib, Ala’i “Yang Luput; Pendidikan Perempuan”, Makalah, Swara Rahima,. Jakarta: 2001.
Nasaruddin Umar, “Gerakan Kesetaraan Gender dan Pergeseran Nilai-Nilai Keagamaan di dalam Masyarakat”, Makalah disajikan dalam acara “Inventarisasi dan Identifikasi Berbagai Isu Kritis Perempuan dalam Permasalahan Sosial dan Lingkungan”, diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, di Hotel Treva Menteng, Jakarta Pusat, Tgl. 20 Juni 2002
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.
Stewart, Lea P. et all, Communication and Gender, (Boston: Allyn and Bacon, 2003.
Suara Merdeka, Semarang: Kamis, 17 Juni 2004.
Sya’rawi, Syeikh Muhammad al-Mutawally Al-Fatâwâ, (Cairo: Al-Taufikiyah, 1999), 408.
Tierney, Helen (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vo. I, New York: Green Wood Press.
Umar, Nasaruddin Demaskulinisasi Epistemologis: Menuju Pendidikan Agama Berperspektif Jender, Makalah Disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) IV pada tgl. 21 September 2000, di Hotel Indonesia Jakarta, 2.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Paramadina, 2001.

humor

MONGGO MAS

Hiduplah sepasang suami istri yang sebenarnya hampir seusia. sebetulnya sang suami lebih tua dari si istri. namun wajah si suami kelihatan lebih muda dan selalu nampak seperti lajang. setiap kali mereka pergi, kayaknya emang si suami seperti adiknya istri. yang membuat si istri agak sewot adalah: setiap kali mereka berpapasan dengan orang yang menyapanya, selalu dibilangin:" MARI BU!" Lalu dengan santai bilang : "MARI MAS!" kepada suaminya