Jumat, 06 November 2009

dialog islam

DOES THE QURAN INCLUDE EVERYTHING?

Name of Questioner Krista - India
Title Does the Quran Include Everything?
Date 20/Oct/2009
Question I am Hindu; and I am reading about Islam. I have a question for you. It might seem simple for you. Does the Quran include everything?
Topic Qur'an & Scriptures, New to Islam, Islamic Creed
Name of Counselor Ahmad Saad

Answer
Salam, Krista.

Thank you very much for your question, which is meaningful and important, although it looks simple.

Muslims believe that the noble Quran is the final word of God revealed to humankind to guide its ways, and show people how to get close to their Creator by fulfilling what He has ordained on them, and how to fulfill their mission on earth by taking care of their responsibilities towards others.

It is the beacon to guide humanity to the path of its Creator, and show them the way to save themselves in the turmoil of this life, and enjoy the pleasure of Allah in this life as well as in the hereafter.

According to Islam, one of the unique characteristics of the Quran is that it is the book of all times and space. This means that the rulings and the teachings of the Quran are not restricted by time and space. They are universal and trans-time. They can be applied today as they were applied 1400 years ago, and can still be applied till the end of time.

Regardless of the change of our methods, knowledge, and approaches, this does not affect the validity of the teachings of the Quran. The Quran speaks of itself; and we are told that it is also a comprehensive book. Allah the Almighty says in the Quran what means:

[We have not neglected anything in the Book.] (Al-An`am 6:38)

The comprehensiveness of the Quran is necessary to enable people to function in their lives according to its guidance, and apply its teachings in their lives. The Quran tells us that it was revealed to be followed and applied with the intention of achieving guidance and leading a proper, God-pleasing life. In order for this purpose to be fulfilled, the Quran has to be comprehensive and all-embracing.

But what does this comprehensiveness mean? Does it mean that the Quran should include every tiny detail of life?

Of course not, because this will mean that we are expecting a book of huge size; something that will make the Quran inaccessible for people, who will be shocked by its size and will refrain from reading it. If that was the case, it will also mean that people will become so lazy, as they will find information about every little small thing in their lives easily provided in this Divine book.

This will mean that Quran will lead people to be lazy, and will cancel any chance of innovation and intellectual excellence, something which will violate one of the main purposes people are created for; that is, to construct the earth, worship Allah, and serve Him in the best of manners.

It is because of this that we can say, "Yes, the Quran is comprehensive, but its comprehensiveness means it gives general guidelines to people on how to find solutions to their problems and make their life better. It tells them how to plan their life in a way that makes it more fruitful, meaningful, and God-oriented.

Therefore, the Quran contains prescriptions for people on how to lead a happy life that brings them closer to Allah. It tells them generally what they should do and what should they avoid.

Also, it provides them with guidelines to find solutions for their problems, and create progress in their life in a way that pleases Allah and leads to happiness in the next life. Almighty Allah says in the Quran what means:

[Whoever does good whether male or female and he is a believer, We will most certainly make him live a happy life, and We will most certainly give them their reward for the best of what they did.] (An-Nahl: 16:97)

When we take Quran in this way, we will realise that the Quran is not there only to be recited and kept on shelves. Rather, it is there to become a source of guidance for everything we do in our life.

It contains guidance on how to solve personal, family, and community problems. It tackles the issues of economy and politics in the same way it deals with social problems and psychological diseases.

Of course it is not going to give us a detailed description of psychological problems, because this is not its job, but it will tell us generally about them, and guide us on the importance of seeking medication and leading a healthy life shaded by the pleasure of Allah.

In this way, we can relate the Quran to our lives, discover its comprehensiveness, and benefit from the light that has been embedded in it. May Allah enable us all benefit from the Quran and follow its teachings in every minute of our life.

I hope I have answered your question. Please, keep in touch.

Salam.

Senin, 12 Oktober 2009

puisi

Penghibur Senja

Setiap titik hitam mereka yang ku pandangi,
Di masa elok cerminan senjanya hari
Di sana ku temukan ringkasan perkataan menjatuhkan
Yang mencela, dan segala luka yang susah cerna
Membuat pikiran selalu bertanya, apa isi sebenarnya jiwa mereka?

Aku bukanlah bagian dari kumpulan pemikir sejati,
Atau bagian pandai merangkai anda-andai
Aku hanya manusia pura-pura,
Yang terpaksa lihai bernarasi tentang mimpi-angan nasibnya

Oh, bukankah semuanya berlanjut dengan malam
Malam dengan kemilau bintang,
Yang jadi refleksi tiap permata-permata penghibur bagi mata manusia
Yang sedih, gundah atau ragu raganya…

Disaat langkah masa yang sejauh ini,
Aku masih tak mengerti apa yang mereka cari
Kenapa mereka berlari, mencari cinta ungu untuk ditumpu
Kemudian mereka terseok dengan urat rindu terputus

Disaat langkah masa yang sejauh ini,
Aku masih juga tak mengerti mengapa mereka selalu coba
Kenapa mereka terus berlari, berkejaran dengan rumit mimpi
Kemudian tergolek ditanah dengan peluh penuh yang membunuh

Oh, bukankah semuanya berlanjut dengan malam
Malam dengan kemilau bintang,
Yang jadi refleksi tiap permata-permata penghibur bagi mata manusia
Yang sedih, gundah atau ragu raganya…

Oh, aku hanya manusia pemandang malam
Mengharapkan sedikit senyum Tuhan,
Mencari Cahaya,senja-di-monas

Kamis, 08 Oktober 2009

debat

HANYA UNTUK DIBACA. BUKAN UNTUK DEBAT

DEBAT ANTARA MURTADDIN DAN MUALLAF

Buktikan siapa yang hapal Alkitab walau satu surat saja di luar kepala!
Pernah terjadi ketika dalam suatu acara Debat Islam & Kristen di salah satu gedung di Jakarta, waktu memasuki acara tanya jawab, seorang ahwat mengajukan satu pertanyaan kepada sang Pendeta yang bertitel Doctor Teologi sebagai berikut :
AHWAT: "Pak Pendeta, di dunia ini ada banyak orang yang hapal Al Qur'an diluar kepala. Apakah ada orang yang hapal Alkitab diluar kepala?"
PENDETA: "Di dunia ini tidak mungkin ada yang hapal Alkitab di luar kepala. Sejenius apa pun orarig itu, tidak mungkin dia bisa hapal Alkitab di luar kepala, sebab Alkitab itu adalah buku yang sangat tebal, jadi sulit untuk dihapal. Berbeda dengan Al Qur'an. Al Qur'an adalah buku yang sangat tipis, makanya mudah dihapal."
Jawaban pendeta tersebut terlalu singkat, tidak rasional dan sangat merendahkan bahkan melecehkan AI Qur�an.

Dengan jawaban pak Pendeta hanya seperti itu, karena penasaran, kami maju ke depan, merebut mikropone yang ada difangan ahwat tersebut, dan melanjutkan pertanyaan ahwat tadi. (maaf disini kami pakai nama pengganti HILS)
HILS : "Maaf pak Pendeta, tadi bapak katakan bahwa Al Qur an adalah buku yang sangat tipis, makanya gampang dihapal diluar kepala. Tapi pak Pendeta, bahwa setipis-tipisnya Al Qur'an, ada sekitar 500 s/d 600 halaman, jadi cukup banyak juga lho!! Tapi kenyataannya di dunia ini ada jutaan orang yang hapal Al Qur'an diluar kepala. Bahkan anak kecil sekalipun banyak yang hapal diluar kepala, walaupun artinya belum dipahami. Sekarang saya bertanya kepada pak Pendeta, Alkitab itu terdiri dari 66 kitab bukan? Jika pak Pendeta hapal satu surat saja diluar kepala (1/66 saja), semua yang hadir disini jadi saksi, saya akan kembali masuk agama Kristen lagi! Ayo silahkan pak Pendeta!"

Mendengar tantangan saya seperti itu, situasi jadi tegang, mungkin audiens yang muslim khawatir, jangan-jangan ada salah satu Pendeta yang benar-benar hapal salah satu surat saja di dalam Alkitab tersebut. Seandainya ada yang hapal, berarti saya harus tepati janjiku yaitu harus masuk Kristen kembali. Karena para Pendetanya diam, saya lemparkan kepada jemat atau audiens Kristen yang dibelakang.
HILS : "Ayo kalian yang dibelakang, jika ada diantara kalian yang hapal satu surat saja dari Alkitab ini diluar kepala, saat ini semua jadi saksi, saya akan kembali masuk ke agama Kristen lagi, silahkan!!"

Masih dalam situasi tegang, dan memang saya tahu persis tidak akan mungkin ada yang hapal walaupun satu surat saja diluar kepala, tantangan tersebut saya robah dan turunkan lagi. Saat itu ada beberapa Pendeta yang hadir sebagai pembicara maupun sebagai moderator. Mereka itu usianya bervariasi, ada yang sekitar 40, 50 dan 60an tahun. Pada saat yang sangat menegangkan, saya turunkan tantangan saya ke titik yang terendah, dimana semua audiens yang hadir, baik pihak Kristen maupun Islam semakin tegang dan mungkin sport jantung.
HILS : "Maaf pak Pendeta, umur andakan sekitar 40, 50 tahun dan 60an tahun bukan? Jika ada diantara pak Pendeta yang hapal SATU LEMBAR saja BOLAK BALIK ayat Alkitab ini, asalkan PAS TITIK KOMANYA, saat ini semua jadi saksinya, aku kembali masuk agama Kristen lagi!! Silahkan pak!"

Ketegangan yang pertama belum pulih, dengan mendengar tantangan saya seperti itu, situasi semakin tegang, terutama dipihak teman-teman yang beragama Islam. Mungkin mereka menganggap saya ini gila, over acting, terlalu berani, masak menantang para Pendeta yang hampir rata-rata bertitel Doctor hanya hapalan satu lembar ayat Alkitab saja. Suasana saat itu sangat hening, tidak ada yang angkat suara, mungkin cemas, jangan-jangan ada yang benar-benar hapal ayat Alkitab satu lembar saja. Karena para pendeta diam seribu bahasa, akhirnya saya lemparkan lagi kepada jemaat atau audiens yang beragama Kristen.
HILS : "Ayo siapa diantara kalian yang hapal satu lembar saja ayat Alkitab ini, bolak balik asal pas titik komanya, saat ini saya kembali masuk Kristen. Ayo silahkan maju kedepan!"

Ternyata tidak ada satu pun yang maju kedepan dari sekian banyak Pendeta maupun audiens yang beragama Kristen. Akhirnya salah seorang Pendeta angkat bicara sebagai berikut:
PENDETA: "Pak Insan, terus terang saja, kami dari umat Kristiani memang tidak terbiasa menghapal. Yang penting bagi kami mengamalkannya."

HILS : "Alkitab ini kan bahasa Indonesia, dibaca langsung dimengerti! Masak puluhan tahun beragama Kristen dan sudah jadi Pendeta, selembar pun tidak terhapal? Kenapa? Jawabnya karena Alkitab ini tidak murni wahyu Allah, makanya sulit dihapal karena tidak mengandung mukjizat! Beda dengan Al Qur’an. Di dunia ini ada jutaan orang hapal diluar kepala, bahkan anak kecilpun banyak yang hapal diluar kepala seluruh isi Al Qur'an yang ratusan halaman. Padahal bahasa bukan bahasa kita Indonesia. Tapi kenapa mudah dihapal? Karena Al Qur'an ini benar-benar wahyu Allah, jadi mengandung mukjizat Allah, sehingga dimudahkan untuk dihapal. Soal meng-amalkannya, kami umat Islam juga berusaha mengamalkan ajaran Al Qur’an. Saya yakin jika bapak-bapak benar-benar mengamalkan isi kandungan Alkitab, maka jalan satu-satunya harus masuk Islam. Bukti lain bahwa Al Qur'an adalah wahyu Allah, seandainya dari Arab Saudi diadakan pekan Tilawatil Qur'an, kemudian seluruh dunia mengakses siaran tersebut, kami umat islam bisa mengikutinya, bahkan bisa menilai apakah bacaannya benar atau salah. Dan ketika mengikuti siaran acara tersebut, tidak perlu harus mencari kitab Al Qur'an cetakan tahun 2000 atau 2005. Sembarang Al Qur'an tahun berapa saja diambil, pasti sama. Beda dengan Alkitab. Seandainya ada acara pekan tilawatil Injil disiarkan langsung dari Amerika, kemudian seluruh dunia mengaksesnya, kitab yang mana yang jadi rujukan untuk di ikuti dan dinilai benar tidaknya? Sama-sama bahasa Inggris saja beda versi, jadi sangat mustahil jika ada umat Kristiani bisa melakukan pekan tilawatil Injil, karena satu sama lainnya berbeda."

Alhamdulillah dari sanggahan kami seperti itu mendapat sambutan hangat dan aplaus dari audiens yang beragama Islam. Oleh sebab itu kami serius menyediakan hadiah uang tunai sebesar Rp. 10.000.000.(sepuluh juta rupiah) bagi siapa saja umat Kristiani yang bisa hapal ayat-ayat Alkitab walau satu lembar saja bolak balik atas pas titik komanya. Bagi yang ingin mencobanya, kami persilahkan hubungi kami bila ada yang bisa menghapalnya diluar kepala, tanpa harus membuat satupun kesalahan

Senin, 24 Agustus 2009

batalnya puasa

Fikih Puasa 5: Hal-hal Yang Membatalkan Puasa Yang Hanya Mewajibkan Qadla' (Tidak Kafarat) - lanjutan
Dimuat Minggu, 3 Desember 2000


Sebelumnya kami mohon maaf atas penayangan materi "Fikih Puasa" terdahulu tanpa memperinci istilah Qadla dan Kafarah. Sehingga agak membingungkan sebagaian pembaca.

Qadla adalah Kewajiban mengerjakan salah satu perintah agama namun tidak bisa dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan karena berbagai halangan.
Contoh: Puasa Ramadhan dan Salat
Kafarah adalah Denda bagi orang yang melanggar kewajiban agama dengan ketetapan yang telah ditentukan (ketentuan kafarah yang berkaitan puasa akan diterangkan lebih lanjut) -editor.
--------

C. Menurut Madzhab Syafi`i:

Umum

Sedikit catatan mengenai batalnya puasa seseorang menurut Syafi`iyah, yaitu:
Pertama: Orang yang lupa, (di-)terpaksa, atau tidak tahu bahwa hal-hal tersebut bisa membatalkan puasa, maka puasanya tidak batal -meski yang dimakan itu banyak atau sedikit. Jadi kriteria batal menurut Syafi`iyah adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan hal-hal yang membatalkan puasa tersebut.
Kedua: Orang yang batal puasa tanpa udzur (halangan) harus tetap meneruskan puasanya hingga waktu buka.

Perihal Batalnya Puasa Dan Hanya Wajib Qadla

Ada beberapa hal yang membatalkan puasa dengan konsekuensi qadla` saja tanpa berkewajiban membayar kafarah, yaitu:
  1. Masuknya satu benda atau dzat ke dalam perut dari lobang terbuka seperti mulut, hidung, lobang penis, anus dan bekas infus, baik sesedikit/sekecil apapun, seperti semut merah; ataupun benda tersebut yang tidak biasa dimakan seperti debu atau kerikil.
    Masuk dalam kategori ini juga :
    • Sengaja mencium bau renyah daging goreng;
    • Menghirup obat pelega pernafaan (semacam vicks atau mint) ket ika seseorang merasa sesak nafas;
    • Menelan kembali ludah yang sudah berceceran dari pusat kelenjar penghasil ludah. Seperti menelan kembali ludah yang sudah keluar dari mulutnya (dihukumi sebagai benda luar); atau seseorang membasahi benang dengan ludahnya kemudian mengembalikan benang yang basah (oleh ludahnya tersebut) ke dalam mulutnya dan hasil ludah tersebut ditelannya lagi; atau menelan ludah yang sudah bercampur dengan benda lain -lebih-lebih benda yang terkena najis.
    • Mempermainkan ludah di antara gigi-gigi, sementara ia bisa memuntahkannya.
    • Menelan sisa-sisa makanan yang menempel di antara gigi-gigi meski sedikit, sementara ia sebenarnya bisa memisahkannya tanpa harus menelannya.

  2. Menelan dahak yang sudah sampai ke batas luar mulut. Namun jika kesulitan memuntahkannya maka tidak apa-apa;
  3. Masuknya air madlmadlah (air kumur) atau air istinsyaq (air untuk membersihkan hidung) ketika wudlu hingga melwati tenggorokan atau kerongkongan karena berlebih-lebihan dalam melakukannya.
  4. Muntah dengan sengaja walaupun ia yakin bahwa muntahan tersebut tidak ada yang kembali ke perut.
  5. Ejakulasi ekster-coitus (Istimna) seperti onani --baik dengan tangan sendiri maupun bantuan isterinya--, atau mani tersebut keluar disebabkan sentuhan, ciuman, maupun melakukan petting (bercumbu tanpa senggama) tanpa penghalang (bersentuhan kulit dengan kulit). Hal-hal tersebut membatalkan puasa karena interaksi secara langsung menyentuh kelamin hingga menyebabkan ejakulasi.

    Adapun jika seorang keluar mani karena imajinasi sensual, melihat sesuatu dengan syahwat, melakukan petting tanpa sentuhan kulit dengan kulit (masih dihalangi kain), maka tidak apa-apa, karena interaksi tersebut tidak secara langsung menyentuh kelamin hingga menyebabkan ejakulasi. Dan hukumnya disamakan dengan mimpi basah. Namun jika hal itu dilakukan berulang-ulang maka puasanya batal, meskipun tidak ejakulasi.
  6. Jelas-jelas keliru makan pada siang hari, karena sudah terbitnya fajar atau belum terbenamnya matahari.

    Jika ia berbuka puasa dengan sebuah ijtihad yaitu membaca keberadaan awan kemerah-merahan (sabagai tanda waktu buka) atau yang lain, seperti cara menentukan waktu sholat (secara astronomis), maka dibolehkan atau sah puasanya.

    Namun, untuk kehati-hatian, hindari makan di penghujung hari (berbuka) kecuali dengan keyakinan sudah saatnya berbuka. Juga dibolehkan makan di penghujung malam (waktu sahur) jika ia menyangka masih ada waktu meski sebenarnya waktu fajar sudah tiba dan dimulutnya masih ada makanan maka sah puasanya. Sebab dasar hukum itu berangkat dari keyakinan awal yaitu belum terbit fajar. Akan tetapi jika sudah jelas-jelas ia mengetahui terbitnya fajar (imsak) sementara di mulutnya masih ada makanan kemudian ia langsung memuntahkan makanan tersebut maka tidak apa-apa, namun jika masih asyik memakannya maka puasanya batal.
  7. Datang bulan (haid), nifas, gila, dan murtad. Sebab kembali pada syarat-syarat sahnya puasa yaitu sehat akal (Akil), masuk ke jenjang dewasa (baligh), muslim, dan suci dari haid dan nifas. Dengan demikian batalnya puasa tersebut karena tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas.
D. Menurut Madzhab Hanbali, antara lain:
  1. Masuknya satu benda (materi) ke dalam perut atau pembuluh nadi dari lobang/rongga badan dengan unsur kesengajaan dan sebagai alternatif, sementara ia masih ingat betul bahwa dirinya sedang puasa -meski ia tidak tahu hal tersebut membatalkan-. Baik benda tersebut bisa dimakan seperti makanan dan minuman, atau tidak, seperti kerikil, dahak, tembakau kinang, obat, pelumas yang sampai ke tenggorokan atau otak, selang yang dimasuk lewat anus, atau merokok.

    CATATAN: Seperti Syafi`I, Imam Hanbali mensyaratkan adanya unsur kesengajaan dalam hal batalnya puasa. Jika seseorang lupa, keliru, atau ter/di paksa melakukan hal-hal yang membatalkan puasa maka tidak apa-apa.
  2. memakai celak mata hingga dzat celak tersebut sampai tenggorokan. Jika tidak sampai ke sana, maka tidak apa-apa;. Rasulullah bersabda, "Berhatilah-hatilah orang yang puasa dengannya (celak)".
  3. Muntah dengan sengaja --baik muntahan itu berupa makanan, ataupun muntahan yang sudah pahit, lendir, darah dan lain-lain-- meski sedikit sekalipun. Rasulullah bersabda, "Barang siapa terpaksa harus muntah maka ia tidak perlu mengulang puasanya, dan barang siapa muntah dengan sengaja maka ia wajib qadla`".
  4. Berbekam. Baik subyek maupun obyek disini dianggap batal puasanya jika benar-benar terlihat darah. Rasul bersabda, "membatalkan (puasa) pelaku dan obyek bekam". Namun jika tidak sampai kelihatan maka tidak apa-apa.
  5. Berciuman, onani, bersentuhan, bersetubuh tanpa penetrasi (persenggamaan) -baik yang keluar mani atau madzi-. Begitujuga Keseringan menonton obyek sensual hingga keluar mani bukan madzi;
  6. Murtad secara mutlak, karena firman Allah swt.: "Jika kamu benar-benar musyrik, maka amal kamu akan benar-benar terhapus".
  7. Meninggal dalam keadaan puasa wajib maka ahli waris harus mengqadla puasa untuk hari kematiaannya. Namun jika pada hari kematiaanya, ia dalam keadaan menjalankan puasa nazar atau kafarah, maka ahli waris hanya memberi makan orang miskin (tidak perlu mengqadla).
  8. Jelas-jelas salah makan di siang hari.

Jika ada keraguan bahwa matahari sudah terbenam kemudian ia berbuka (seperti halnya ia berbuka namun ia masih menyangka matahari belum terbenam dan memang kenyataan matahari belum terbenam) maka batal puasa dan harus mengqadla.

Termasuk batal dan wajib qadla juga, jika seseorang makan karena lupa, kemudian ia menyangka dirinya sudah batal sehingga ia meneruskan makan dengan sengaja.

(bersambung)
==================
Dirangkum dari buku: THE ISLAMIC JURISPRUDENCE AND ITS EVIDENCES, Jilid III, karya Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaily. (Tim penerjemah: Hendra Suherman, Eva Fachrunnisa, Ali Mu'in Amnur, dan Zaimatussa'diyah)

puasa

Fikih Puasa 4: Hal-hal Yang Membatalkan Puasa Yang Hanya Mewajibkan Qadla’ (Tidak Kafarat)


Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua macam: yang mewajibkan qadla’ saja (tidak kafarat), dan ada yang mengharuskan qadla’ dan kafarat. Kali ini, kita akan menampilkan yang pertama, yang mewajibkan qadla’ saja, menurut 4 mazhab besar : Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah.

A. Mazhab Hanafiyah

Hal-hal yang membatalkan puasa, dalam mazhab Hanafiyah ini terbagi ke dalam 3 kelompok besar. Pertama, memakan/menelan/meminum sesuatu yang tidak selayaknya ia makanan. Masuk dalam kelompok ini adalah hal-hal berikut:

  • memakan beras mentah.
  • makan adonan tepung yang tidak dimasak.
  • menelan obat-obatan (tanpa maksud yang jelas).
  • Memakan buah yang belum masak.
  • Memakan sisa-sisa makanan di mulut sebesar kacang Arab (sama dengan setengahnya kacang tanah).
  • Memakan garam banyak dengan sekali telan juga mewajibkan qadla’ (tidak kafarat), berbeda jika menelannya sedikit-sedikit, maka selain qadla’ puasa ia juga wajib membayar kafarat.
  • Memakan biji-bijian.
  • Memakan/menelan kapas, kertas atau kulit, kerikil, besi, debu, batu, uang kertas/perak atau sejenisnya.
  • Memasukkan air atau obat ke dalam tubuh dengan cara menyuntukkan melalui lubang kemaluan, hidung, atau tenggorokan.
  • Meneteskan minyak ke dalam telinga (bukan air, karena air tidak bisa meresap lebih jauh ke dalam).
  • Masuknya air hujan atau salju ke dalam tenggorokan tanpa sengaja, dan dia tidak menelannya.
  • Sengaja muntah-muntah, atau mengeluarkan muntah dengan paksa lantas ditelankannya kembali, jika muntahannya itu memenuhi mulut; atau walaupun tidak sampai memenuhi mulut namun yang kembali tertelan minimal menyamai biji kacang Arab, sementara dia sadar bahwa dia puasa. Namun jika muntahan itu terjadi dengan tanpa sengaja; atau kalaupun muntah secara disengaja namun muntahannya tidak memenuhi mulutnya; atau saat muntah dia lupa bahwa dia sedang puasa; atau muntahannya itu berupa lendir, tidak makanan; maka puasanya tidak batal. Ini berdasar hadis “Barang siapa muntah dengan tanpa sengaja maka dia tidak wajib mengqadla, namun jika sengaja muntah-muntah maka diwajibkan mengqadla’”.

***

Jenis kedua adalah memakan/meminum/menelan makan-makanan atau obat-obatan karena ada udzur, baik itu berupa penyakit, dipaksa, memakan/meminum/menelan secara keliru, atau karena menyepelekan, atau karena samar. Masuk dalam kategori ini adalah hal-hal berikut ini:

  • Masuknya air kumur ke dalam perut secara tak sengaja.
  • Berobat dengan cara membedah tubuh bagian kepala atau perut, lantas obat yang dimasukkan mencapai otak atau perut.
  • Orang tidur yang dimasuki air ke dalam tubuhnya dengan sengaja.
  • Orang perempuan yang membatalkan puasanya dengan alasan khawatir sakit karena melaksanakan suatu pekerjaan.
  • Makan atau bersenggama secara syubhat/samar, setelah ia melakukan hal itu (makan atau senggama) karena lupa.
  • Makan setelah ia berniat puasa pada siang hari.
  • Seorang musafir (orang yang bepergian) yang makan saat niat puasanya dilakukan pada malam hari setelah ia memutuskan untuk menetap (mukim) di tempat ia berada.
  • Makan/minum/senggama pada saat fajar telah terbit, namun ia ragu apakah fajar telah terbit.
  • Makan/minum/senggama pada saat matahari belum terbenam, namun ia menyangka bahwa matahari telah terbenam (telah maghrib).

CATATAN
Seorang yang makan atau melakukan hubungan badan sejak sebelum terbitnya fajar, kemudian fajar terbit, maka jika ia langsung menghentikannya atau memuntahkan makanan yang ada di mulutnya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya.

***

Jenis ketiga adalah pelampiasan nafsu seks/birahi secara tak sempurna. Masuk dalam kategori ini adalah hal-hal berikut:

  • Keluarnya mani dikarenakan berhubungan badan dengan mayit atau binatang atau anak kecil yang belum menimbulkan syahwat.
  • Keluarnya mani karena berpelukan atau adu paha.
  • Keluarnya mani karena ciuman atau rabaan.
  • Perempuan yang disetubuhi saat ia tertidur.
  • Perempuan yang menetesi kemaluannya dengan minyak.
  • Memasukkan jari yang dibasahi dengan minyak atau air kedalam anus, lantas air atau minyak itu masuk ke dalam.
  • Bercebok sehingga ada air yang masuk ke dalam melalui anus.
  • Memasukkan sesuatu sampai tenggelam seluruhnya (kapas, kain, atau jarum suntik, dll) ke dalam anus.(Jika tidak tenggelam seluruhnya, maka tidak membatalkan puasa)
  • Perempuan yang memasukkan jarinya yang dibasahi dengan minyak atau air ke dalam vaginanya bagian dalam.

***

B. Mazhab Malikiyah

Dalam mazhab ini, hal-hal yang mewajibkan qadla’ (tanpa kafarat) ada 3 kategori berikut ini:

  1. Membatalkan puasa-puasa fardlu (seperti qadla’ Ramadlan, puasa kafarat, puasa nadzar yang tidak tertentu, puasanya orang yang haji tamattu’ dan qiraan yang tidak membayar denda). Adapun puasa nadzar yang ditentukan, semisal bernadzar puasa hari/beberapa hari/bulan tertentu, jika dia membatalkan puasanya itu karena udzur seperti haidl, nifas, ayan, gila, sakit, dll, maka ia tak wajib mengqadla’. Namun jika uzdurnya sudah hilang sementara apa yang dinadzarkannya masih tersisa, maka ia wajib melakukan puasa pada hari yang tersisa itu.
  2. Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa Ramadhan, selama syarat-syarat wajibnya kafarat tak terpenuhi. Seperti batalnya puasa karena udzur seperti sakit; atau karena udzur yang menghilangkan dosa seperti lupa, kesalahan, keterpaksaan; batalnya puasa karena keluarnya madzi atau mani karena melamun/melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menimbulkan syahwat), dengan tanpa berlebihan, namun kebiasaannya keluar mani pada saat berhenti dari tindakan itu. Singkatnya, semua puasa wajib yang dibatalkannya wajib baginya mengqadla, kecuali puasa nadzar tertentu yang dibatalkannya karena udzur.
  3. Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa-puasa sunat. Karena menurut mazhab ini, melakukan suatu ibadah sunat, hukumnya wajib melakukannya sampai sempurna. Jika dibatalkan secara sengaja maka harus mengqadlanya, dan jika tanpa jika batalnya karena udzur tidak wajib mengqadlanya.

Kesimpulannya, seseorang yang membatalkan puasa (semua jenis puasa) dengan sengaja maka ia wajib mengqadlanya, dan tidak wajib membayar kafarat kecuali pada puasa Ramadhan saja. Dan barang siapa yang batal puasanya (jenis apa saja) karena lupa, wajib baginya mengqadla (tidak kafarat), kecuali pada puasa sunat (tidak wajib qadla’ tidak pula kafarat).

***
Adapun hal-hal yang bisa membatalkan puasa, dalam mazhab ini, ada 5 hal:

  1. Bersengga yang mewajibkan mandi.
  2. Keluarnya mani atau madzi karena ciuman, belaian, dan melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menimbulkan syahwat) dan itu dilakukannya dengan sengaja dan terus-terusan.
  3. Muntah-muntah secara sengaja, baik muntahannya itu memenuhi mulut atau tidak. Namun jika muntah itu terjadi secara tak sengaja maka tak membatalkan puasanya, kecuali jika ada muntahannya yang kembali masuk ke perut walau tak sengaja (maka batallah puasanya).
  4. Sampainya sesuatu yang cair ke tenggorokan melalui mulut, hidung, atau telinga, baik itu secara sengaja, lupa, kesalahan, atau keterpaksaan. Seperti air kumur atau saat gosok gigi. Masuk dalam kategori hukum cairan ini juga, dupa dan kemenyan jika dihirup kuat-kuat sehingga masuk ke tenggorokan, asap yang diketahui (seperti rokok-pent), bercelak dan berminyak rambut pada siang hari jika rasanya sampai ke tenggorokan, jika tidak sampai ke tenggorokan tidak membatalkan puasa. Sebagaimana ia tak membatalkan puasa, jika hal itu dilakukannya pada malam hari).
  5. Sampainya sesuatu ke pencernaan, baik zat cair atau tidak, melalui mulut, hidung, mata atau pangkal rambut, baik masuknya dengan disengaja, keliru, lupa atau terlanjur. Adapun suntikan pada lobang kelamin laki-laki tidak membatalkan puasa. Begitu juga halnya mengkorek-korek lubang telinga, juga menelan sisa-sisa makanan yang masih menempel di antara gigi-gigi tidak membatalkan puasa, meskipun itu dilakukan dengan sengaja.

Demikian pula masuknya segala sesuatu, baik berupa cairan atau tidak, ke dalam pencernaan melalui lubang-lubang (menuju dalam tubuh) yang berada di atas perut, baik lubang tersebut lebar atau sempit, membatalkan puasa dan wajib mengqadlanya. Beda dengan sesuatu yang masuk melalui lubang bawah (perut), ia baru dianggap membatalkan puasa jika lubang bawah itu lebar (seperti lubang anus dan kelamin perempuan), dan barang yang masuk itu berupa zat cair (tidak benda yang keras).

Singkatnya, qadla’ itu wajib bagi orang yang membatalkan puasa-puasa wajib, baik itu dilakukannya dengan sengaja, lupa, keterpaksaan; baik pembatalannya itu haram, boleh, atau wajib seperti orang yang membatalkan puasanya karena kekhawatirannya akan sesuatu yang fatal (jika ia puasa); baik pembatalan itu juga mewajibkan kafarat atau tidak; baik puasa fardhu itu asli atau puasa nadzar.

Minggu, 23 Agustus 2009

doa ramadhan

DOA SHOLAT WITIR
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا دَائِمًا، وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا، وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا، وَنَسْأَلُكَ عَمَلاً صَالِحًا، وَنَسْأَلُكَ دِيْنًا قَيِّمًا، وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، وَنَسْأَلُكَ تَمَامَ الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الْغِنَى عَنِ النَّاسِ
اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَتَخَشُّعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا، وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا اَللَّهُ، ا اَللَّهُ، يَا اَللَّهُ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Dipetik dari Buku Al-Azkar Muhammadiah
DOA SHOLAT TARAWIH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِاْلإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ، وَلِفَرَائِضِكَ مُؤَدِّيْنَ، وَعَلَى الصَّلَوَاتِ مُحَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ، وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ، وَبِالنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلاَيَا صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ e يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ، وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ، وَفِى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرَةِ الكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَبِحُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّيْنِ شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِنْ مَعِيْنٍ، مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِيْ هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلاَ تَجْعَلْنَا اللَّهُمَّ مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ، إِلهَنَا عَافِنَا وَاعْفُ عَنَّا، وَاغْفِرِ اللَّهُمَّ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلأُمَّهَاتِنَا، وَلإِخْوَانِنَا وَلأَخَوَاتِنَا، وَلأَزْوَاجِنَا وَلأَهْلِيْنَا َوِلأَهْلِ بَيْتِنَا، وَلأَجْدَادِنَا وَلِجَدَّاتِنَا، وَلأَسَاتِذَتِنَا وَلِمَشَايِخِنَا وَلِمُعَلِّمِيْنَا، وَلِمَنْ عَلَّمْنَاهُ وَلِذَوِى الْحُقُوْقِ عَلَيْنَا، وَلِمَنْ أَحَبَّنَا وَأَحْسَنَ إِلَيْنَا، وَلِمَنْ هَدَانَا وَهَدَيْنَاهُ إِلَى الْخَيْرِ، وَلِمَنْ أَوْصَانَا وَوَصَّيْنَاهُ بِالدُّعَاءِ، وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ.
وَاكْتُبِ اللَّهُمَّ السَّلاَمَةَ وَالْعَافِيَةَ عَلَيْنَا وَعَلَيْهِمْ، وَعَلَى عَبِيْدِكَ الْحُجَّاجِ وَالْمُعْتَمِرِيْنَ وَالغُزَاةِ وَالزُّوَّارِ وَالمُسَافِرِيْنَ، فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَالْجَوِّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَقِنَا شَرَّ الظَّالِمِيْنَ، وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ، يَا مُجِيْبَ السَّائِلِيْنَ، وَاخْتِمْ لَنَا يَا رَبَّنَا مِنْكَ بِخَيْرٍ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Dipetik dari Buku Al-Azkar Muhammadiah

Kamis, 16 Juli 2009

MANAGEMEN SOMBONG

MANAGEMEN “SOMBONG” ITU PENTING

Oleh: Hanief Maemun


Pernahkah anda mengalami hal yang sama dengan cerita ini ?. Ketika anda tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan argumen yang ada dikepala anda kemudian tiba-tiba temen di sebelah anda mengungkapkan argumen yang sama persis dengan yang anda pikirkan sebelumnya. Atau ketika anda harus kehilangan satu kepercayaan atau satu pekerjaan hanya karena anda kurang percaya diri dengan apa yang ingin anda sampaikan, lalu diserobot oleh orang lain dan anda kecewa.

“Percaya diri” itu mungkin kata kunci dari cerita yang saya tuliskan di atas. Sering memang kesuksesan seseorang berawal dari rasa optimisme dan kepercayaan diri yang besar akan potensi dan kemampuan yang seseorang miliki dalam dirinya. Juga tidak jarang kita merasakan semacam rasa cemburu ketika menemui seseorang yang sebenarnya potensinya jauh dibawah kita namun pada kenyataannya dia mampu unggul di dalam banyak hal hanya karena faktor berani dan percaya diri. Percaya diri memang sangat penting karena tanpanya semua yang kita miliki tidak akan ada gunanya karena kita akan selalu terkekang dalam ketidakberanian untuk menunjukkan sesuatu kepada orang lain.



Seorang yang mempunyai sifat percaya diri dia akan cenderung selalu mengekspos apa yang ada diotaknya. Segala bentuk karya, pendapat, argumen, ketidaksetujuan, kesinisan, bahkan idealisme akan mudah kita dengar dari seseorang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Anda mungkin akan bertanya “bukankah kecenderungan untuk mengekspos dan menampilkan sesuatu yang ia miliki dihapadan orang lain termasuk sifat sombong?”. Sebagian orang mungkin akan mengatakan “tidak” dan berkata bahwa antara percaya diri dengan sombong itu sangat berbeda. Namun menurutku seberapapun perbedaan antara keduanya yang pasti harus kita akui bahwa percaya diri memang harus dimulai dengan menanamkan sikap sombong dalam diri kita.

Jika anda ingin mencoba mengangkat rasa percaya diri anda maka yang harus anda lakukan pertama kali adalah dengan menyombongkan diri anda sendiri. Ya karena menurutku sombong adalah cara berfikir orang-orang yang “PeDe” alias percaya diri. Argumen ini tentu saja tidak perlu anda tanggapi dengan rasa sinisme yang berlebihan. Sebagian orang mungkin akan sangat anti pati ketika saya menyandingkan sifat “percaya diri” dengan “sombong” karena memang keduanya secara istilah terkesan sebagai dua hal yang kontradiktif. Bila percaya diri sangat identik dengan sifat positif maka sombong lebih identik dengan dengan sifat negatif. Tapi saya akan tetap saja menganggap keduanya sebagai dua hal yang bermakna satu namun berbeda istilah.

Kata sombong memang sudah kadung terkonotasikan sebagai satu sifat buruk yang seharusnya kita jauhi dalam kehidupan ini. Secara general saya sepakat dengan pendapat itu tapi secara khusus saya mempunyai pendapat berbeda. Menurutku terkadang kita sangat membutuhkan sifat sombong untuk membangunkan rasa percaya diri kita. Karena ketika kita percaya bahwa kita memiliki sesuatu yang lebih dari yang orang lain punya maka secara tidak sadar rasa percaya diri kita akan terbangun.

Anda akan dicibir orang jika dalam keadaan sukses anda terlalu berlebihan mengekspos kemampuan anda. Atau anda akan dicap sebagai “the arogan man” ketika anda terlalu berlebihan mengungkapkan ekspresi kemenangan ataupun kesuksesan anda saat itu. Orang pasti akan berfikir dan berkata dalam hatinya “emangnya elo saja yang bisa melakukan seperti itu” atau kalimat seperti ini “sok banget sih orang itu”. Hal seperti itulah yang pada akhirnya membuat orang mengatakan sombong adalah sikap yang tidak baik. Itulah pentingnya memeneg dan mengatur sifat sombong dalam diri kita. Dari yang ia berkonotasi buruk menjadi ia yang berguna. Kata-kata memeng tersebut tentu saja berarti menggunakannya pada saat yang tepat. menjaga agar sifat sombong yang ada tidak keluar secara berlebihan, membabi buta dan tidak terkontrol.

Menggunakannya dalam waktu yang tepat artinya adalah bagaimana kita bisa menempatkan rasa percaya diri kita dengan segala ekspresinya pada waktu yang kita butuhkan bukan pada waktu yang tidak kita butuhkan. Contoh mudahnya adalah ketika anda ditinggalkan klien anda atau ketika orang-orang mulai meragukan kemampuan anda dan tidak menganggap keberadaan anda. Maka pada saat itulah anda sangat membutuhkan sifat sombong untuk mendongkark kembali rasa percaya diri anda. Sebagian orang mungkin akan rela dan menerima saja ketika harus dicampakkan dengan alasan yang kurang bisa diterima, atau ketika harus kehilangan posisi strategisnya karena orang lain, namun bagi orang-orang yang selalu berfikir positif dan percaya diri dia pasti akan mengeluarkan sifat sombongnya untuk meraih kembali kepercayaan yang sempat hilang dalam dirinya ataupun dalam diri orang lain kepada dirinya. Cukup dengan satu alasan saja “aku akan buktikan kalau aku bisa melakukannya lebih baik”. Kata-kata itu tentu tidak asing dalam kehidupan kita dan kita tidak perlu sungkan untuk mengakuinya sebagai ungkapan sifat sombong walau sesaat. Nah itulah yang saya maksud bahwa sifat sombong terkadang sangat berguna dan sangat kita butuhkan dalam kehidupan kita.

Anda harus memastikan bahwa persepsi orang lain tentang kemampuan anda adalah salah. Anda harus berani mengatakan bahwa anda bisa melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar yang orang lain inginkan. Anda harus berani mengatakan kepada semua orang yang mengacuhkan, meremehkan, dan tidak menganggap keberadaan anda “kalian telah keliru menilai saya, dan kalian akan kecewa karena telah menyingkirkan saya”. Tentu saja itu semua tidak boleh berhenti hanya dalam tataran kepercayaan diri yang berlebihan dengan segala ekspresi dan kata-kata “wise”nya. Akan tetapi juga harus dibarengi dengan aksi nyata yang harus anda tunjukkan untuk membuktikan asumsi dan kepercayaan anda selama ini. Jangan hanya mengatakan “saya bisa melakukan yang lebih bagus” saja, tapi beraksilah dan buktikan pada dunia tentang kata-kata anda. Karena jika anda hanya berhenti pada taraf percaya diri saja kemudian miskin aksi maka sah-sah saja jika anda akan dicap sebagai seorang yang “sombong” bukan seorang yang “percaya diri”.

Maka dengan memeneg dan mengatur sifat sombong dengan baik saya yakin anda akan selalu dekat dengan kesuksesan. Eksistensi dan keberadaan anda di setiap komunitas yang anda ikuti akan selalu terlihat dan mudah ditangkap orang lain. Anda tidak akan lagi mengalami kejadian menyesal karena ide anda tercuri oleh orang lain hanya karena anda tidak mempunyai keberanian untuk mengatakannya, atau hanya karena anda ragu akan kualitas argumen anda dari orang lain. Sangat menyakitkan jika kita tersingkir dalam komunitas kita sendiri, sangat aneh bila kita seperti orang asing dalam rumah sendiri. So....mari buktikan pada dunia apa yang bisa kita lakukan.

Selasa, 16 Juni 2009

ISLAM DAN PEREMPUAN

ISLAM, PENDIDIKAN DAN PEREMPUAN
Oleh: Ainurrafiq dan Fahmi Arif

Abstract
Sesungguhnya bila kita cermati dalil naqli atau teks-teks yang ada, hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan justru adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra- Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang justru memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan. Dalam konteks keindonesian sangat tepat pernyataan R.A Kartini “Kecerdasan pikiran penduduk Bumiputera tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, (yaitu) perempuan jadi pembawa peradaban.” “Dan betapakan ibu Bumiputera itu sanggup mendidik anak, bila mereka itu tiada berpendidikan?”

Kata Kunci: Islam, Perempuan dan Pendidikan

I. Pendahuluan
Saat ini, akses dan partisipasi perempuan dalam pendidikan masih tersisih dibanding laki-laki. Tahun 2004 saja, di Jawa Tengah, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Semarang (PSW Unnes) dan PSW UNS Surakarta menemukan bahwa angka melek huruf perempuan di sana hanya 84,85 %, sedang laki-laki mencapai 92,63 %.
Namun harus diakui bahwa jumlah perempuan yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pada masa sekarang, tentu lebih banyak daripada masa 70-80 an. Seiring dengan terbukanya kesempatan itu, terbentang pula harapan dan angan-angan yang mungkin diraih. Sebagian perempuan telah bercita-cita bekerja di kantor dan meniti karir, sebagian tidak ingin terikat oleh ruang dan waktu di belakang meja, sebagian ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang berwawasan luas dalam mendidik anak dan berkeluarga, sebagian lagi tidak memaksakan diri harus ini atau itu tetapi lebih tergantung pada situasi yang ada.
Faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut antara lain meningkatnya pendidikan perempuan dan pergeseran budaya sebagai dampak globalisasi. Perubahan tersebut dapat dilihat dengan banyaknya perempuan yang berkecimpung di pasar kerja, pada tahun 2003, tercatat sebanyak 35 persen dari seluruh angkatan kerja adalah perempuan, selebihnya angkatan kerja laki-laki.
Walaupun demikian, dari data dan informasi ketenagakerjaan menunjukkan masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Padahal bekerja merupakan hal yang mendasar dalam memperoleh penghidupan yang layak, disamping kesetaraan gender merupakan salah satu hak azasi manusia yakni laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam antara lain dalam memperoleh penghidupan yang layak. Berdasarkan hasil penelitian ILO, dari sejumlah masyarakat yang hidup di bawah kemiskinan lebih banyak wanita dibandingkan laki-laki.
Maka, sudah saatnya kaum laki-laki, teristimewa perempuan, untuk bangkit memberdayakan diri demi membangun sebuah masa depan bangsa yang jauh lebih baik dari masa kini. Bukankah anak yang berkualitas dibesarkan oleh perempuan berkualitas. Karena itu, sudah waktunya kaum perempuan Indonesia berkualitas. Salah satunya dengan meningkatkan pendidikannya.
Di Indonesia, statistik perempuan menunjukkan ketimpangan yang menyolok. Ini bisa dilihat misalnya Statistik Indonesia untuk pendidikan dan kebudayaan yang dikeluarkan Bappenas 1997 menunjukkan bahwa antara tahun 1980-1990, angka masuk sekolah laki-laki dan perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil siswa perempuannya.
Ala’i Najib, dalam salah atau tulisanya, “Yang Luput; Pendidikan Perempuan”, dengan panjang lebar menjelaskan bahwa jika dirunut, ketimpangan pendidikan perempuan dikarenakan masyarakat masih berpandangan male oriented, pandangan yang mengedepankan pendidikan laki-laki daripada perempuan. Dengan konsep bahwa anak laki-laki kelak menjadi kepala keluarga, maka sebuah keluarga dimana terdapat anak laki-laki dan perempuan dengan ekonomi pas-pasan pasti akan mendahulukan pendidikan tinggi anak laki-lakinya daripada anak perempuan.
Anggaran pemerintah terhadap pendidikan di banyak negara -terutama negara berkembang- memang lebih kecil dibanding anggaran yang lain, hal ini menyebabkan pendidikan bukan saja konsumsi mewah yang tak banyak dijangkau masyarakat umum, namun juga menciptakan masyarakat berkelas; orang awam dan orang berpendidikan. Boleh dikata, hanya yang punya uang yang mampu sekolah, sebab ternyata beasiswa tidak untuk semua orang.
Budaya bahwa perempuan adalah “konco wingking”, sehingga tak perlu dididik juga turut mensubordinatkan perempuan. Fakta-fakta di atas menunjukkan betapa pendidikan -dalam arti yang sebenar-benarnya- bagi perempuan bukan ketertinggalan yang harus dikejar, tapi dilanggengkan. Memang banyak perempuan sekarang yang sudah memegang peranan penting, tapi itu hanya representasi kecil yang belum mencapai keterwakilan penduduk di muka bumi dan harus dicatat tidak semuanya punya sense of gender.
Sulitnya, lingkungan pendidikan keagamaan juga turut berperan membentuk persepsi ini, lihatlah misalnya; seorang perempuan yang masuk fakultas kehutanan, mestilah ia bercita-cita menjadi insinyur kehutanan, tapi apakah ada di pesantren perempuan, santrinya berani bercita-cita menjadi ibu Nyai? yang mengajar di pesantren? Sebaliknya laki-laki, nyarisnya semuanya diproyeksikan jadi: "Kyai". Kalau ini terjadi secara simultan, bagaimana kita mengharapkan, nanti yang mengajar fikih, tafsir atau disiplin ilmu keagamaan lain perempuan? Padahal posisi ini sangat penting, sebab pengajaran keagaamaan yang berperspektif gender bisa digerakkan sebab guru atau bu Nyai yang merupakan tokoh kunci. Selain faktor-faktor di atas, adanya trend bahwa perempuan yang sekolah tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan memilih kembali ke ruang domestik menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan sadar individu.

II. Islam Bicara Pendidikan Perempuan
Sesungguhnya bila kita cermati dalil naqli atau teks-teks yang ada, hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan justru adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra- Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang justru memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ – المجادلة: 11--

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujadalah [58]:11).

Hal ini ditegaskan kembali oleh Nabi saw dengan menyatakan bahwa hanya dengan menuntut ilmulah kebodohan akan sirna. Dan cara melawan kebodohan itu adalah dengan membuka selebar-lebarnya peluang menuntut Ilmu. Beliau juga menyatakan bahwa menuntut ilmu pada konteks ini menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umatnya, tanpa perbedaan jenis kelamin.

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ (رَوَاهُ إِبْنُ مَاجَةْ)
"Menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan." (HR. Ibnu Majah).

Perempuan, selain sebagai "poros" regenerasi manusia selanjutnya, di tangannyalah para generasi baru itu dididik. Bahkan jika kita baca kembali kutipan Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang menyitir syair seorang sastrawan Arab, Hafidh Ibrahim, Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan bangsa yang berketurunan baik. Realitas ini jelas menunjukkan posisi perempuan (Ibu) sebagai "poros" utama dalam pendidikan. Sehingga tidak logis kemudian jika arus pengetahuan untuk perempuan terhambat karena masalah-masalah seperti ketiadaan muhrim, peran domestik yang harus dilakukan, atau lainnya. Justru arus utama pengetahuan itu seharusnya ditujukan kepada para perempuan terlebih dahulu. Karena baik tidaknya pola didikan para Ibu ini akan sangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dimilikinya.
Pada dasarnya, Islam mendukung pendidikan perempuan dalam wilayah agama maupun sosial. Islam tidak mengenal prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama didukung untuk memperoleh pendidikan, bahkan dinyatakan Nabi dari semenjak di ayunan sampai masuk liang lahat. Semua ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan dan yang menganjurkan untuk menuntut Ilmu pengetahuanpun ditujukan secara setara baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Perhatian Nabi saw terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa beliau sendiri biasa mengajar perempuan bersama laki-laki. Beliau juga memerintahkan kepada sekalian umatnya agar tidak hanya mendidik keluarga perempuan mereka saja, namun juga budak-budak perempuan mereka, seperti tercantum dalam hadits "Seorang laki-laki yang mendidik budak perempuannya, memerdekakannya dan kemudian menikahinya, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda".
Sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Hadits yang mendorong kaum perempuan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian mereka, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang terdidik tidak hanya memancarkan kualitas-kualitas moralnya di lingkungan rumah, namun juga harus memiliki sebuah peran aktif di lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan perkembangan politik.
Secara khusus dalam surat Al-Taubah ayat 71-72, Al-Qur’an memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk mendirikan shalat, membayar zakat, beramar ma'ruf dan nahi munkar dalam segala bentuk; sosial, ekonomi, dan politik. Ini berarti laki-laki dan perempuan setara dalam mengemban perintah tersebut dan untuk itu mereka harus sama memiliki akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan. Lalu bagaimana perempuan bisa membenarkan kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang baik atau tidak menyepakatinya, kalau secara intelektual dia tidak dipersiapkan untuk tugas itu?

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِوَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ اُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ اِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ – وَعَدَ اللهُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ اَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ – التوبة: 71-72--

“(71) Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (72) Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Taubah [9]:71-72).

Bila kita kembali berkaca kepada sejarah Islam, sesungguhnya Islam tidak pernah sepakat dalam pembatasan terhadap perempuan. Islam telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para perempuan-perempuan untuk menimba ilmu apa saja. Dan ini terbukti dengan munculnya beberapa nama perempuan-perempuan yang menghiasi tinta sejarah Islam. Sebutlah misalnya Aisyah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, Al-Khansa yang dipuji Nabi karena keindahan puisinya, Zainab dari Bani Awd dan Ummu Al-Hasan binti Qadi Abi Ja'far Al-Tanjali yang terkenal menguasai ilmu kedokteran, dan sering menunaikan tugasnya untuk mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, lalu Nusaibah yang pandai dalam strategi perang, dan mungkin masih ada banyak lagi. Dan jika memang pendidikan adalah fondasi bagi transformasi sosial, maka pembatasan hak pendidikan kepada perempuan tidak relevan. Maka saatnya mengutamakan pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan tidak diskriminatif untuk semua?
Amat banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Para perempuan di zaman Nabi saw menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Qur’an menegaskan bahwa:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لاَ أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَأُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوْذُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ وَقَاتَلُوْا وَقُتِلُوْا َلأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ َوَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللهِ وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ – ال عمران: 195--

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali 'Imran [3]:195).

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi, Aisyah ra, adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
Rasulullah saw tidak membatasi kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi. Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh, seperti yang diungkap M. Qurais Shihab dalam sebuah tulisannya pernah menulis: “Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga, pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.”

III. Proses Pendidikan Islam Masih Bias Gender
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia yang dikutip oleh Nasaruddin Umar dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran perilaku mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya “Sex and Gender: An Introduction” mengungkapkan bahwa gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini menurut Nasaruddin sejalan dengan pendapat kaum feminis.
Elaine Shorwalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia menekankannya sebagai konsep analisis (an analitic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Dan H.T Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Karena itu Nasaruddin Umar mengatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya; suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Fenomena yang sering dijumpai dalam proses pendidikan adalah bersifat patriarkhis. Pendidikan yang merupakan salah satu wahana dalam proses penyebaran nilai-nilai dan gagasan baru, tidak berarti sama sekali ketika isu ketidakadilan gender vis-a-vis apriori masyarakat akan selalu menghasilkan bias makna; bahwa dengan mengulang-mengulang mengkampanyekan isu gender sama halnya dengan mengungkit-ungkit kemapanan takdir Tuhan. Jika demikian kenyataannya, pertentangan jenis kelamin yang menghasilkan ketimpangan gender, untuk kesekian kalinya tetap akan dipahami sebagai sebuah kelaziman yang terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia, mengingat mapannya pandangan konvensional patriarkhis tentang relasi gender.
Di dalam proses pendidikan itu sendiri ternyata selama ini telah dimasuki pewarisan ketimpangan gender, tetapi para praktisi pendidikan tidak pernah memahaminya sebagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani. Tidak sedikit praktisi pendidikan yang menanggapi persoalan ini dengan dingin, hingga akhirnya pendidikan lebih memainkan fungsinya sebagai agen sosialisasi ketimpangan gender, meskipun sebenarnya ia sangat berpeluang dijadikan media untuk memutuskan ketimpangan gender. Lebih tragis lagi banyak praktisi pendidikan tidak menyadari bahwa materi-materi pendidikan yang disosialisasikan berdasarkan teks pendidikan kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar yang “seksis” adalah hasil dari serangkaian pertentangan gender yang bergemuruh dalam masyarakat. Sementara di sisi lain pendidikan menjustifikasinya sebagai sebuah kebenaran etika.
Isu kesetaraan gender dalam proses pendidikan menjadi bahasan yang sangat penting, sebab isu ketidakadilan gender yang selalu berpijak pada persoalan hegemoni kekuasaan jenis kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, ataupun lingkungan, tetapi agama pun juga ikut menjustifikasi hal tersebut. Ini karena isu gender lahir dari bias makna yang ditimbulkan oleh perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, bias makna tersebut mempengaruhi relasi sosial antara dua jenis kelamin, melalui proses kultural dan perilaku sosial yang sangat panjang. Perbedaan biologis yang permanen ini melahirkan sebuah konstruksi perbedaan relasi gender yang bersifat hegemonik, itu dikukuhkan dan diproduksi secara konsisten melalui pengalaman sadar maupun bawah sadar. Pada proses akhir konstruksi pola relasi itu sudah berubah menjadi bentuk hegemoni kekuasaan maskulin terhadap feminin yang melahirkan anomali sosial. Hegemoni jenis kelamin tersebut lebih banyak bekerja membius supra struktur (ide, keyakinan, pandangan) masyarakat. Di sinipun lembaga pendidikan memiliki peluang yang sangat lebar untuk menjadi bagian dari perangkat hegemoni sistem nilai gender.
Permasalahan sebetulnya bukanlah terletak pada “kaum perempuan”, tetapi di dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender (gender inequalities). Oleh karena itu yang menjadi setiap tujuan kegiatan atau program perempuan bukanlah sekedar menjawab “kebutuhan praktis” atau mengubah kondisi kaum perempuan, tapi juga menjawab kebutuhan strategis, dalam arti memperjuangkan perubahan posisi perempuan termasuk menentang hegemoni dan melawan ideologi ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dalam keyakinan kaum laki-laki atau perempuan.
Proses pendidikan selama ini cenderung mengedepankan verbalisme. Eksplorasi yang seharusnya menjadi ciri utama pendidikan menjadi terabaikan, akibatnya anak didik terkungkung dalam budaya bisu, lebih tragis lagi anak didik dipandang berdasarkan identitas jenis kelamin, dalam hal ini perempuan yang menjadi sasaran hegemoni. Jika demikian, sensitivitas gender sama sekali belum ada, maka kita tidak dapat menyalahkan atau menghakimi sebetulnya yang tidak sensitif gender itu apakah berasal dari faktor guru atau memang dari tujuan, metode, materi, lingkungan atau faktor lain yang sudah dikonstruk sedemikian rupa hingga seorang guru memang harus berlaku demikian. Ditambah pula banyak sekali teks-teks agama yang dijadikan sebagai alat legitimasi untuk sebuah penafsiran yang sama sekali bias gender, demikian inilah yang oleh para praktisi pendidikan dijadikan rujukan tanpa melakukan pengkritisan terlebih dahulu.
Fenomena ini bisa terjadi dalam proses pendidikan secara terus menerus ketika belum ada usaha untuk merubahnya. Budaya patriarkhi yang begitu lama mengakar dalam masyarakat merupakan sebuah kendala dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merombaknya secara bertahap. Proses pendidikan harus diteliti dan dikaji ulang, baik dari aspek tujuan, metode, materi atau yang lainya (elemen proses pendidikan) yang selama ini masih amat kentara bias gendernya.

IV. Fenomena Pendidikan dan Ulama Perempuan
Metodologi keilmuan masih sarat dengan bias laki-laki. Tidak heran jika berbagai teori dan konsep keilmuan, terutama dalam ilmu-ilmu sosial, hingga kini masih mendukung masyarakat laki-laki (male dominated society) dan menempatkan perempuan di posisi marginal. Apa yang pernah dikemukakan oleh Pytagoras: “man is the measure of all things” (laki-laki menjadi ukuran segala sesuatu) kenyataannya masih berlangsung hingga saat ini.
Dunia pendidikan agama, baik dalam konotasi institusi maupun konotasi substansi kurikulum dan metode, masih sarat dengan berbagai bias gender. Hal ini menarik untuk dikaji karena institusi pendidikan agama masih merupakan faktor yang sangat kuat dan sangat menentukan di dalam masyarakat. Di samping itu, secara substansial juga mempunyai arti penting karena masyarakat bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Wacana konseptual tentang keadilan gender di dalam dunia pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan wacana gender di dalam kehidupan beragama.
Terlepas dari (sedikit atau) banyaknya ulama perempuan, sulit dibantah ketika kenyataan yang lain mengatakan bahwa perempuan memang hanya menduduki posisi marjinal dalam dunia keilmuan Islam –pesantren khususnya. Realitas ini secara implisit ingin mengatakan bahwa tradisi keulamaan (atau keilmuan) memang didominasi oleh kaum laki-laki; dan agaknya terdapat ketidakseimbangan (unbalancing) antara konsep ideal Islam yang menyatakan bahwa kewajiban menuntut ilmu berlaku untuk laki-laki dan perempuan dan, dengan demikian, sebenarnya –lagi-lagi secara ideal– memberikan peluang yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi ulama, dengan praktik yang berlangsung secara historis. Jadi, unbalancing ini, lebih jauh lagi mengisyaratkan terdapat dalam kesempatan di dunia pendidikan. Dengan kata lain, kaum perempuan tidak memeroleh kesempatan yang memadai dalam pendidikan Islam yang dapat mengantarkan mereka kepada keulamaan.
Padahal, dalam kaitannya dengan kewajiban menuntut ilmu atau hak untuk memeroleh pendidikan, yang dengan itu seseorang nantinya dapat menjadi ulama, sekali lagi, Islam tidak pernah membeda-bedakan sama sekali antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, di dalam Kitab Al-Fatâwa karya Syeikh Muhammad Al-Mutawally Al-Sya’rawi, Rasulullah sendiri meminta sahabat Umar bin Khattab untuk menyuruh Al-‘Adawiyah (perempuan dari Suku ‘Ady) untuk tetap datang mengajar Hafsah meskipun dia telah berpindah ke rumah Rasul. Umar berkata, “Ia sudah ‘alim ya Rasul.” Mendengar perkataan itu, Rasulullah dawuh: “Suruhlah ia datang mengajar, agar Hafsah lebih ahli dan mahir lagi…” Inilah rahasianya mengapa para sahabat pada masa Utsman bin ‘Affan secara ijma’ menyetujui salah satu mushaf tulisan tangan yang asli disimpan di rumah Umm Al-Mukminin Hafsah bint Umar.
Maka, Muslim Ibrahim dalam makalahnya “Perempuan sebagai Ulama dalam Syari’at Islam” mengingatkan: kalaulah dalam hak memperoleh pendidikan dan kewajiban belajar tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, tentu hasil yang dicapainya pun tidak berbeda. Sungguh logis memang kalau lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk memeroleh syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang ulama. Malah, kalau kita coba kaitkan dengan ilmu Manthiq, kalau hukum memelajari ilmu adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan, sementara ilmu adalah tangga bagi lelaki atau perempuan untuk menjadi ulama, maka adanya ulama di kalangan laki-laki dan perempuan adalah merupakan suatu kewajiban yang mesti diwujudkan.

V. Kesimpulan
Dari sedikit paparan di atas dapat diambil pemahaman bahwa hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra- Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. "Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan (Pemberdayaan Historiografi), dalam Ulama Perempuan Indonesia, Jajat Burhanuddin, ed.,Jakarta: Gramedia, 2002.
Brannon, Linda. Gender: Psychological Perspective. Boston: Allyn and Bacon, 1999.
Faqih, Mansour. Analisis Gender dan Trasformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998.
Ibrahim, Muslim “Perempuan sebagai Ulama dalam Syari’at Islam”, Makalah, t.t., t.tp.,.
Lips, Hilary M. Sex and Gender: An Introduction. California: Mayfield Publishing Company, 2001.
Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka pelajar dan Rifka Annisa, 2002.
Muniroh, Alimul. “Sensitivitas Gender dalam Proses Pendidikan Islam”, Makalah, ttp. tth.
Najib, Ala’i “Yang Luput; Pendidikan Perempuan”, Makalah, Swara Rahima,. Jakarta: 2001.
Nasaruddin Umar, “Gerakan Kesetaraan Gender dan Pergeseran Nilai-Nilai Keagamaan di dalam Masyarakat”, Makalah disajikan dalam acara “Inventarisasi dan Identifikasi Berbagai Isu Kritis Perempuan dalam Permasalahan Sosial dan Lingkungan”, diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, di Hotel Treva Menteng, Jakarta Pusat, Tgl. 20 Juni 2002
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.
Stewart, Lea P. et all, Communication and Gender, (Boston: Allyn and Bacon, 2003.
Suara Merdeka, Semarang: Kamis, 17 Juni 2004.
Sya’rawi, Syeikh Muhammad al-Mutawally Al-Fatâwâ, (Cairo: Al-Taufikiyah, 1999), 408.
Tierney, Helen (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vo. I, New York: Green Wood Press.
Umar, Nasaruddin Demaskulinisasi Epistemologis: Menuju Pendidikan Agama Berperspektif Jender, Makalah Disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) IV pada tgl. 21 September 2000, di Hotel Indonesia Jakarta, 2.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Paramadina, 2001.

humor

MONGGO MAS

Hiduplah sepasang suami istri yang sebenarnya hampir seusia. sebetulnya sang suami lebih tua dari si istri. namun wajah si suami kelihatan lebih muda dan selalu nampak seperti lajang. setiap kali mereka pergi, kayaknya emang si suami seperti adiknya istri. yang membuat si istri agak sewot adalah: setiap kali mereka berpapasan dengan orang yang menyapanya, selalu dibilangin:" MARI BU!" Lalu dengan santai bilang : "MARI MAS!" kepada suaminya

Rabu, 13 Mei 2009

tipe manusia


BERBAGAI TIPE MANUSIA DALAM MENYEMBAH ALLAH


Oleh: Hasan Busri



Dalam hidup ini kita diwajibkan beribadah kepada Allah swt. Sebagai wujud ketaatan dan ungkapan rasa syukur kepada-Nya. Bukankah tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah mengabdi kepada Allah swt.? Namun dalam menjalankan ketaatan tersebut ada berbagai macam tipe manusia yang dapat dibedakan menjadi empat golongan.


Golongan pertama, tipe manusia ”pedagang”. Karena masuk dalam tipe pedagang maka dalam beribadah kepada Allah manusia jenis ini selalu mengharapkan balasan keberuntungan dari jerih payahya. Mereka melakukan ketaatan karena selalu berharap agar nantinya di akhirat bisa mendapatkan balasan nikmatnya surga. Manusia tipe ini mau bersusah payah taat shalat, menahan lapar berpuasa, menyisihkan sebagian hartanya untuk membayar zakat dan ibadah-ibadah lain karena mengharapkan balasan surga.


Kedua, manusia tipe ”budak”. Sebagaimana budak yang mau bekerja dan taat kepada majikannya karena takut akan siksa yang mungkin diberikan oleh sang majikan apabila dia membangkang. Maka manusia tipe kedua ini mau melakukan ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat yang dilarang-Nya karena dia takut kalau nanti di akhirat dimasukkan ke dalam neraka. Manusia dalam golongan ini akan selalu patuh pada perintah Allah swt. dan selalu menjauhi larangan-larangan-Nya karena takut siksa neraka.


Ketiga, golongan manusia ”arif”. Sebagai orang yang bijak, manusia tipe ini menjalankan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya karena semata-mata melakukan balas jasa terhadap Allah yang telah memberi begitu banyak anugerah kepadanya. Ketaatan manusia tipe ini semata-mata karena sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat ,anugerah dan kemudahan-kemudahan serta segala fasilitas yang diberikan kepadanya. Manusia tipe ini tidak pernah membangkang kepada Allah semata-mata karena ia malu atas segala fasilitas yang telah diberikan Allah kepadanya selama hidup di dunia ini. Pengabdiannya kepada Allah bukan karena mengharapkan surga, juga bukan karena takut akan siksa neraka, tapi semata-mata pengabdian yang tulus mengharap ridlo-Nya dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Jalla wa ’Azza.


Ketiga tipe di atas bukannya salah, akan tetapi dari ketiga tipe tersebut tentunya kita tahu tipe ketigalah-yaitu tipe orang arif- merupakan tipe yang paling tinggi di hadapan Allah swt. Kita perlu berusaha sekuat tenaga dan juga selalu berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keringanan untuk mencapai tipe tingkatan orang arif. Adapun tipe yang harus benar-benar kita hindari adalah tipe yang keempat.


Tipe keempat yang harus kita hindari adalah tipe manusia ”robot”. Manusia jenis ini juga beribadah kepada Allah swt. Dia sholat, dia juga berlapar dahaga untuk berpuasa, dia juga menjalankan ibadah lain. Akan tetapi manusia tipe ini tidak pernah memikirkan dan menghayati makna yang terkandung dalam ibadah-ibadah tersebut. Mereka melakukannya tanpa perasaan khusuk. Mereka sholat akan tetapi yang diingat selalu adalah bisnisnya, kesenangan dunia, serta kariernya bahkan hal-hal kecil yang berhubungan dengan dunia. Mereka tidak pernah memikirkan ada apa hikmah yang terkandung dalam ibadah-ibadah tersebut. Sehingga ibadahnya tidak bisa memberi dampak positif dalam kehidupan sehari-hari. Sholatnya tidak bisa mencegah dari perbuatan fahsya’ dan mungkar.


Semoga Allah swt. Selalu memberi pertolongan kepada kita semua agar bisa menjadi golongan orang arif dan terhindar menjadi golongan robot dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Amin.





































Jumat, 01 Mei 2009

humor

Mengukur Tinggi Tiang Bendera
24/04/2009
Saat Presiden Habibi datang ke salah satu daerah ia menyempatkan meninjau lapangan upacara, untuk memantau langsung persiapan upacara hari besar Islam keesokan harinya.

Habibi meminta salah seorang pejabat Departemen Agama setempat untuk mengukur tinggi tiang bendera. “Pak, itu coba diukur tinggi tiang itu berapa meter ya…!”

Tanpa pikir panjang, pejabat tadi langsung mencoba memanjat tiang. Maklum, baru kali ini dia bertemu bahkan diperintah pak presiden. Tapi tiang itu terlalu kecil, sehingga tak bisa dipanjat, dan bengkok. Ia jatuh. “Brukkk.”

Kata Habibi, “Jangan begitu pak, diambil saja tiangnya, dirobohkan baru diukur.”

Pejabat tadi menolak. “Wah kalalu begitu kan kita mengukur panjangnya pak, bukan tingginya,” katanya.

Habibi pun terdiam. (anam)

Rabu, 22 April 2009

rasulullah

Strategi Rasulullah dalam Perang Uhud
Maktabatuna
Mon, 23 Mar 2009 14:17:58 -0700
==== Sebelum terjadinya perang Uhud, suku Quraisy melakukan persiapan dan
mobilisasi besar-besaran untuk menyongsong peperangan pembalasan dendam setelah
kekalahan mereka dalam perang Badar. Terkumpullah 1.000 unta dan 1.500 dinar.
Setelah persiapan genap setahun, terkumpul 3000 unta, 200 penunggang kuda dan
yang mengenakan baju besi sebanyak 700 orang. Pemimpin tertinggi dipegang oleh
Abu Sufyan, sedangkan pasukan berkuda dipimpin oleh Khalid bin Walid dan
Ikrimah bin Abu Jahal. Kemudian, mereka bergerak menuju ke Madinah.


Adapun di pihak Islam, dengan fasilitas dan pasukannya yang sangat minim.
Rasulullah pun membuat strategi tersendiri guna membela kehormatan dan
kemuliaan Islam dan umatnya. Di antara strategi ini, salah satunya adalah
strategi yang terkait dengan persiapan sebelum perang. Yaitu sebagai berikut.

1. Menempatkan Inteligen di Sarang Musuh
Setelah perang Badar, satu strategi Rasulullah saw yang sangat urgen
adalah menempatkan para inteligennya di Mekah untuk memberikan
informasi-informasi yang terkait tentang pasukan Quraisy. Salah satunya adalah
Abbas bin Abdul Muthalib, pamannya sendiri. Melihat pasukan Quraisy yan sudah
berangkat ke Madinah untuk melakukan penyerangan, beliau mengirimkan surat
melalui utusannya untuk disampaikan kepada Rasulullah. Dalam waktu tiga hari,
utusan tersebut sampai di Madinah la menyerahkan surat itu kepada Rasulullah
yang sedang berada di masjid Quba. Setelah menerima surat itu, Rasulullah
meminta ahli bahasanya, Ubay bin Ka'ab, membacakan surat tersebut. la juga
diperintahkan untuk menjaga kerahasiaan isi surat tersebut.

2. Membentuk Majelis Permusyawaratan Militer
Rupanya, salah satu kelebihan Rasulullah sebagai seorang pemimpin
adalah mendengarkan jajak pendapat dari para sahabatnya. Sekalipun posisi
beliau sebagai seorang nabi, beliau mampu mengatur sendiri jalannya strategi
yang akan digunakan dan tentunya mendapat arahan dan wahyu dari langit, beliau
masih memusyawarahkannya dengan para sahabat. Pada saat itu, mayoritas suara
sahabat jatuh pada upaya melakukan penyerangan kafir Quraisy di Bukit Uhud.
Sementara, informasi tentang pasukan Mekah terus dilaporkan oleh badan
inteligen Rasulullah, termasuk kabar tentang posisi militer yang diambil
pasukan Quraisy. Selesai shalat Ashar, Rasulullah masuk ke rumahnya diikuti
oleh Abu Bakar dan Umar. Kedua sahabatnya ini memakaikan Rasulullah sorban dan
baju besi. la juga mengenakan pedangnya. Sementara, para sahabat di luar sedang
ramai bertukar pikiran. Usaid bin Hudzair dan Sa'ad bin Mu'adz, dua sahabat
yang berpendapat ingin bertahan di dalam kota, berkata kepada mereka yang
berpendapat ingin menyerang musuh di luar.

“Tuan-tuan mengetahui bahwa Rasulullah ingin bertahan di dalam kota. Lalu,
tuan-tuan berpendapat lain dan memaksanya bertempur keluar. Dia sendiri enggan
berbuat demikian. Serahkan sajalah persoalan ini kepadanya. Apa yang
diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Taatilah pendapatnya dan sesuatu yang
disukainya."

Setelah mendengar keterangan itu, mereka yang berseru supaya menyerang saja
menjadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasulullah mengenai
sesuatu yang mungkin datang dari Tuhan. Setelah Rasulullah datang kembali ke
tengah-tengah mereka dengan memakai baju besi dan sudah menyiapkan pedangnya,
mereka yang sebelumnya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata, "Ya
Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang engkau. Lakukanlah apa yang
engkau kehendaki. Kami juga tidak bermaksud memaksa engkau, karena engkau
mendapatkan berita dari langit, yang kemudian dikabarkan kepadamu."

Namun, Rasulullah menjawab, "Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah
mengenakan pakaian besinya, lalu menanggalkannya kembali sebelum Tuhan
memberikan putusan antara dirinya dan musuh-Nya. Perhatikanlah apa yang saya
perintahkan kepada kamu sekalian dan ikutilah. Atas ketabahan hatimu,
kemenangan akan berada di tanganmu."





3. Pembagian Komando
Jumlah pasukan kaum muslimin ketika itu 1000 orang. Pasukan itu
terdiri atas 100 prajurit mengenakan baju besi dan 50 penunggang kuda dan
sisanya pasukan berpedang. Kemudian, pasukan ini dibagi menjadi tiga batalion,
yaitu:
1. Batalyon Muhajirin, benderanya diserahkan kepada Mush'ab bin Umair.
2. Batalyon Aus, benderanya diserahkan kepada Usaid bin Hudhair.
3. Batalyon Khazraj, benderanya diserahkan kepada Al-Hubab bin Al-Mundzir
Al-Jamuh.

4. Menginspeksi Pasukan
Setibanya Rasulullah dan pasukannya di Syaikhani, beliau selaku
komandan tertinggi menginspeksi pasukan. Ternyata, di dalam pasukan terdapat
anak-anak yang usianya sangat belia. Beliau menolak keikutsertaan mereka,
kecuali yang mempunyai spesialisasi dalam peperangan, seperti Rafi’ bin Khudaij
yang mahir memanah dan Samurah yang ahli beladiri. Hari itu adalah hari Jumat.
Karena hari sudah petang, mereka menginap di tempat itu dan memerintahkan lima
puluh orang pasukan mengadakan hirasah, yakni menjaga di sekitar pasukan.

5. Tidak Meminta Pertolonga Orang-orang Kafir
Rasulullah melakukan hal itu ketika berangkat dari Madinah ke Uhud. Ia
mendapati sekelompok Yahudi, sekutu Abdullah bin Ubay yang ingin turut serta
membantu Rasulullah. Namun, Rasulullah menolaknya dengan mengatakan "Jangan
minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik sebelum
mereka masuk Islam."

Kemudian, orang-orang Yahudi itu pun kembali ke Madinah. Lalu mereka berkata
kepada Abdullah bin Ubay, "Kau sudah menasihatinya dan sudah kauberikan
pendapat berdasarkan pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya, dia
sependapat denganmu. Lalu, dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang
menjadi pengikutnya."

Keesokan harinya, ia berbalik menggabungkan diri dengan pasukan teman-temannya
dan kembali ke Madinah. Hampir sepertiga pasukan mundur. Mereka adalah
orang-orang munafik yang bertujuan melemahkan semangat pasukan kaum muslimin.
Tinggal Alabi dan orang-orang yang benar-benar beriman yang berjumlah 700
orang. Mereka akan berperang menghadapi 3000 orang yang terdiri dari
orang-orang Quraisy Mekah. Semuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi
ketika di Badar. Mereka ingin menuntut balas.

Akhirnya, Allah SWT mengokohkan hati mereka dengan menurunkan firman-Nya.
"Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut, padahal Allah
adalah Penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu, hendaklah kepada Allah
saja orang-orang mukmin bertawakal." (QS Ali Imran [3]: 122)

Kemudian, turun lagi ayat yang menceritakan kondisi orang-orang munafik.
"Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik, kepada mereka
dikatakan, 'Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (diri
kalian).' Mereka berkata, 'Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan,
tentulah kami mengikuti kalian.' Mereka pada hari itu lebih dekat kepada
kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak
ada dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan." (QS
Ali Imran [31:167)

Ternyata, dalam sejarah tercatat bahwa keberadaan orang-orang munafik dalam
tubuh kaum muslim seperti duri dalam daging. Mereka sangat membahayakan.
Sebanyak 1000 pasukan kaum muslim berkurang menjadi 700 orang setelah melawan
3000 pasukan kafir Quraisy.

6. Meredakan Konflik Internal Sebelum Peperangan
Munir Muhammad Al-Ghadhban dalam Fiqh As-Sirah An-Nabawiyahnya
mengatakan bahwa Perang Uhud ini merupakan pembeda antara orang-orang mukmin
dan orang-orang munafik, seperti dalam firman Allah.

"Dan apa yang menimpa kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua
pasukan itu adalah dengan izin Allah, dan agar Allah menguji siapa orang yang
benar-benar beriman, dan untuk menguji orang-orang yang munafik, kepada mereka
dikatakan, 'Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankan dirimu.' Mereka
berkata, 'Sekiranya kami tahu bagaimana cara berperang, tentu kami akan
bersamamu.' Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada
keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya.
Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan." (QS All Imran
[3]:166-167)

7. Memilih Posisi yang Strategis
Lagi-lagi, salah satu penentu kemenangan seorang komandan adalah
penentuan tempat yang strategis. Barangsiapa yang menempati posisi strategis,
kemungkinan besar akan menang dalam pertempuran. Rasulullah merupakan salah
satu panglima yang ahli dalam pengaturan strategi militer. Hingga ketika itu,
pasukannya dibawa ke kaki Bukit Uhud. Pasukan muslim mengambil tempat dengan
proses menghadap ke arah Madinah dan memunggungi Uhud. Dengan posisi ini,
pasukan musuh berada di tengah antara mereka dan Madinah.

8. Pembagian Pos Militer
Rasulullah membagi pos militer para prajuritnya, prajurit dakwah, serta
prajurit yang siap mengorbankan harta, waktu, tenaga dan bahkan jiwa untuk
mendapatkan keridhaan Allah SWT.

Beliau pun menempatkan satuan pasukan khusus yang dipimpin oleh Abdullah bin
Jubair. Anggotanya terdiri dari 50 pemanah ulung di bukit Uhud, tepatnya 150
meter dari pasukan kaum muslim. Tujuannya jelas, yakni melindungi pasukan di
bawah yang sedang bertempur dari laju serangan depan yang menggelombang, juga
menahan pasukan kavaleri Khalid bin Walid yang sangat membahayakan. Berikut ini
instruksi-instruksi yang disampaikan Rasulullah kepada mereka, mengingat
pentingnya posisi mereka.

1. “Lindungi kami dari belakang, sebab kami khawatir mereka akan mendatangi
kami dari belakang. Bertahanlah dan jangan tinggalkan tempat itu. Kamu jangan
meninggalkan tempatmu kalau melihat kami berhasil menghancurkan dan memasuki
pertahanan mereka. Jika melihat kami diserang, jangan dibantu. Kami juga tidak
mempertahankan. Tugas yang kauemban adalah menghujani kuda-kuda mereka dengan
panah, karena kuda itu tak akan dapat maju dengan serangan panah."

2. "Lindungilah punggung kami jika kami sedang bertempur, maka kalian tidak
perlu membantu kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta
ghanimah, kalian jangan ikut bergabung bersama kami." Imam Bukhari
meriwayatkan, "Jika kalian melihat kami disambar burung sekalipun, janganlah
kalian meninggalkan tempat itu, kecuali ada utusanku yang mendatangi kalian.
Jika kalian melihat kami berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian
meninggalkan tempat hingga ada utusan yang mendatangi kalian."

Dalam hal ini, kepiawaian Rasulullah dalam mengatur strategi perang terlihat
jelas. Dengan menempatkan posisi pemanah di bukit Uhud, berarti menutup
celah-celah pasukan Quraisy untuk mengadakan penyerangan, terutama dari kubu
Khalid bin Walid.

Kemudian, sayap kanan dipimpin oleh Al-Mundzir bin Amr. Sementara, sayap kiri
dipimpin oleh Zubair bin Awam dengan dibantu satuan khususnya, Al-Miqdad bin
Al-Aswad untuk menghadang penyerangan pasukan Khalid bin Walid. Barisan
terdepan diisi oleh para pemberani yang mencari syahid, yakni para pahlawan
Islam yang langsung dipimpin oleh Rasulullah.

Sementara itu, pihak Quraisy juga sudah menyusun barisan. Barisan kanan
dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan sayap kiri dipimpin oleh Ikrima bin
Abu Jahal. Bendera diserahkan kepada Abdul Uzza Thalhah bin Abu Thalhah.
Wanita-wanita Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di
tengah-tengah barisan itu. Terkadang, mereka di depan barisan dan di belakang.
Mereka dipimpin oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, seraya berteriak,
"Ayo, Banu Abdud Dar! Ayo, pengawal barisan belakang! Hantamlah dengan segala
yang tajam. Kamu maju, kami peluk. Kami hamparkan kasur yang empuk. Jika kamu
mundur, kita berpisah. Berpisah tanpa cinta."

Kedua belah pihak sudah siap bertempur dan mengerahkan pasukannya. Yang selalu
diingat oleh Quraisy ialah peristiwa Badar dan korban-korbannya, sedangkan yang
selalu diingat oleh kaum muslim ialah Allah dengan pertolongan-Nya.

9. Mengobarkan Semangat Jihad
Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin perang,
mengobarkan semangat untuk maju pantang mundur. Hal itu telah dicontohkan oleh
Rasulullah dalam perang Uhud. Beliau mengobarkan semangat para kadernya untuk
sabar, teguh, berani, serta patriotik dalam menyongsong syahid dan memperoleh
surga Allah SWT.

Rasulullah berpidato untuk memberikan semangat dalam menghadapi pertempuran
itu. Beliau menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka
tabah. Lalu, beliau mengambil sebilah pedang sambil bersabda, "Siapa yang akan
memegang pedang ini untuk disesuaikan dengan tugasnya?"
Beberapa orang tampil, namun pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka.
Kemudian, Abu Dujana Simak bin Kharasya dari Bani Sa'ida tampil seraya berkata,
"Apa tugasnya, ya Rasulullah?" "Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada
musuh sampai ia bengkok," jawabnya.

Abu Dujana, seorang laki-laki yang sangat berani, mengenakan pita (kain) merah.
Apabila ia sudah mengikatkan pita merahnya itu, orang akan mengetahui bahwa ia
sudah siap bertempur. Saat itu, ia pun sudah mengeluarkan pita mautnya.

Ia mengambil pedang, mengeluarkan pita, lalu mengikatkannya di kepala. Seperti
biasa, ia berlagak di tengah-tengah dua barisan itu bila sudah siap menghadapi
pertempuran. "Cara berjalan seperti ini sangat dibenci Allah, kecuali dalam
bidang ini," kata Rasulullah setelah melihat gaya berjalan Abu Dujana.